Indonesia dinyatakan kalah dalam gugatan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) pada Oktober 2022. Gugatan tersebut terkait dengan pelanggaran ekspor mineral mentah khususnya nikel yang ditetapkan berlaku sejak 1 Januari 2020.
Industri hilirisasi Indonesia dianggap belum matang oleh WTO dikarenakan negara yang melarang ekspor suatu komoditas harus memiliki industri yang benar-benar berkembang. Indonesia dinilai masih belum mencapai kemampuan tersebut.
Baca juga: Deforestasi di RI Tembus 4,5 Juta Hektar, Nikel Penyebab Terbesar
Hilirisasi nikel sejatinya semakin membuat ketergantungan pada investasi China dalam 10 tahun terakhir. Program ini tidak berkelanjutan dikarenakan tidak membawa efek berganda sesuai harapan dan malah membuat Indonesia rentan terdampak guncangan ekonomi China.
Dikarenakan investor asing (China) yang membangun smelter di kawasan Morawali dan Konawe, hal tersebut dapat dipastikan bahwa investor asing akan lebih diuntungkan dibandingkan Indonesia dari hilirisasi nikel.
Investor China tidak perlu membayar pajak pertambahan nilai (PPN), padahal sangat jelas China melakukan pengolahan yang menaikkan nilai tambah, dan nilai tambah tersebut sepenuhnya diambil semua oleh mereka.
Baca juga: Nikel Indonesia Baru Penuhi 0,4 Persen Kapasitas Baterai Dunia
Adanya skema monopoli pasar nikel di Indonesia karena larangan ekspor nikel mentah yang mewajibkan penambang menjual nikel di pabrik smelter yang didominasi oleh investor China dengan harga acuan yang telah ditetapkan oleh ESDM atau Harga Patokan Mineral (HPM) yang relatif lebih murah dibandingkan harga di pasar dunia, membuat investor asing (China) sangat diuntungkan.
Selain itu, China juga tidak membayar royalti tambang sepeser pun dikarenakan tidak menambang nikel secara langsung. Pemerintah Indonesia juga memberikan insentif berupa pembebasan pajak (tax holiday) ekspor hilirisasi nikel selama 25 tahun.
Kebijakan ini akan berpotensi memberikan dampak bagi Indonesia kehilangan penerimaan nilai ekspor dari hilirisasi nikel.
Baca juga: Studi: Jika Tidak Diatur, Industri Nikel Bisa Memicu Ribuan Kematian
Guna memastikan manfaat hilirisasi bagi Indonesia, pemerintah perlu menerapkan pajak progresif untuk ekspor produk hasil turunan nikel, di mana nilai pajak tergantung di saat nikel mencapai harga tertentu, karena saat ini nilai investasi banyak menguntungkan pihak asing dibandingkan dalam negeri.
Adanya pengaruh hilirisasi nikel berupa kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di sektor mineral yang menembus posisi 7.350 (Bursa Efek Indonesia, 2024), membuat banyak investor asing tertarik dengan hilirisasi nikel di Indonesia.
Baca juga: Tom Lembong Sebut Hilirisasi Nikel di Indonesia Terlalu Dipaksakan
Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh, pembatasan produksi, serta perbaikan regulasi dalam hilirisasi. Selain itu, pemerintah juga harus mendorong investor asing, terutama China, untuk mematuhi standar lingkungan dan sosial dalam proyek hilirisasi nikel.
*Asisten Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.