Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Nugroho SBM
Dosen Universitas Diponegoro

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang

Inflasi Ramadhan dan Lebaran serta Peran KPPU

Kompas.com - 08/04/2024, 14:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUDAH menjadi peristiwa rutin bahwa Ramadhan dan Lebaran selalu identik dengan kenaikan harga, khususnya harga barang kebutuhan pokok.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, barang kebutuhan pokok terdiri dari:

  1. Barang kebutuhan pokok hasil pertanian (beras, kedelai bahan baku tahu dan tempe, cabe, dan bawang merah);
  2. Barang kebutuhan pokok hasil industri (gula, minyak goreng, dan tepung terigu);
  3. Barang kebutuhan pokok hasil peternakan dan perikanan (daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar: bandeng, kembung dan tongkol/ tuna/ cakalang).

Kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok tersebut pada akhirnya akan menyebabkan kenaikan tingkat inflasi karena besarnya bobot sumbangan harga barang kebutuhan pokok tersebut terhadap inflasi.

Harga beras, misalnya, mempunyai bobot atau sumbangan sekitar 3 persen terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dijadikan dasar untuk menghitung inflasi.

Selama ini ada sejumlah argumen pemerintah untuk memberikan penjelasan mengapa kenaikan harga itu terjadi.

Pertama, karena pasokan (supply) terganggu atau berkurang, misalnya, karena bencana alam seperti El-Nino, banjir atau bencana kekeringan.

Kedua, karena meningkatnya permintaan yang tidak bisa diimbangi oleh kenaikan pasokan secara cepat.

Untuk kurangnya pasokan, di samping karena faktor cuaca, sebab alamiah, serta faktor yang tak dapat dikendalikan (force major), ada juga faktor spekulasi yang dilakukan oleh para pengusaha nakal yang ingin memanfaatkan situasi.

Mereka secara sengaja menimbun barang untuk membatasi pasokan di pasar dan ketika harga naik mereka menjual pasokan yang mereka tahan.

Dua lembaga berwenang

Ada dua lembaga yang sebenarnya bisa menangani hal ini. Pertama, Tim Pengendali Inflasi Nasional dan Tim Pengendali Inflasi Daerah.

Tim ini terdiri dari beberapa unsur terkait. Salah satu unsur yang bisa melakukan penindakan terhadap para spekulan atau pengusaha yang nakal, yaitu aparat keamanan.

Aparat keamanan bisa melakukan penegakkan hukum terhadap pengusaha yang nakal tersebut.

Kedua, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sesuai Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat- yang dikenal dengan nama UU Antimonopoli- KPPU berwenang untuk melakukan investigasi terhadap kenaikan harga yang tidak wajar dari barang kebutuhan pokok.

Jika kemudian terbukti hal tersebut karena spekulasi yang dilakukan oleh pengusaha nakal, maka KPPU bisa menindaklanjutinya dengan mengajukan yang bersangkutan ke pengadilan tata niaga.

Masalah yang muncul, untuk membuktikan seseorang melakukan praktik usaha tidak sehat dibutuhkan waktu lama.

Setelah pengadilan tata niaga memutuskan seseorang bersalahpun, yang bersangkutan bisa mengajukan keberatan ke pengadilan tata-niaga, bahkan bisa naik banding ke Mahkamah Aging (MA)

Contoh kasus adalah kelangkaan dan kenaikan tidak wajar minyak goreng menjelang Natal dan Tahun Baru tahun 2021.

KPUU saat itu melakukan investigasi yang dimulai pada Oktober 2021. Kemudian pada Mei 2023, KPPU menjatuhkan putusan bahwa terdapat beberapa perusahaan minyak goreng yang terbukti melanggar UU Antimonopoli.

Namun sampai saat ini belum ada tindaklanjut terhadap putusan tersebut karena putusan belum final. Perusahaan-perusahaan tersebut mengajukan keberatan terhadap pengadilan tata-niaga.

Jikapun pengadilan tata-niaga nantinya menolak keberataan, maka perusahaan-perusahaan tersebut masih bisa mengajukan banding ke MA yang tentunya membutuhkan waktu yang lama lagi.

Guna mengatasi hal ini, mungkin perlu dibatasi waktu pengadilan tata-niaga dan MA untuk memutuskan dikabulkan atau ditolaknya keberatan.

Cara lain adalah dengan menetapkan biaya tinggi bagi pengusaha yang mengajukan keberatan ke pengadilan tata-niaga dan banding ke MA agar ada disinsentif bagi pengusaha nakal yang sudah diputuskan oleh KPUU melanggar UU Antimonopoli untuk mengajukan keberatan dan banding.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com