Lupakan prinsip loyalitas yang sering digadang-gadang bapak-bapak, orangtua dari kalangan Gen Z. Pesan orangtua dulu: loyalitas kepada perusahaan berbanding lurus dengan kesejahteraan, tidak berlaku dalam alam pikir Gen Z.
Dari survei yang sama mengemuka data: tiga dari 10 Gen Z bekerja hanya pada masa 1-2 tahun. Bisa dimaklumi mengingat bagi Gen Z ini adalah pekerjaan pertama bagi mereka. Bahkan, 23 persen di antaranya, keluar sebelum kontrak kerja berakhir.
Ketidakpuasan atas gaji lagi-lagi menjadi faktor utama (41 persen).
Catatan: Namun dari data yang sama nyatanya ditemukan faktor lain mengapa Gen Z kurang betah kerja lama di suatu perusahaan. Selain faktor eksternal (gaji kurang memuaskan dan tawaran yang lebih baik), nyatanya ketidakloyalan Gen Z juga banyak dipantik faktor internal perusahaan.
Faktor internal perusahaan atau "bose" yang membuat Gen Z tidak betah antara lain: merasa tidak dihargai, beban kerja berlebihan, ketiadaan jenjang karier yang menjanjikan, lingkungan kerja "toxic", bosan, dan tidak mendapat perhatian atasan.
Tantangan bagi perusahaan dan para pimpinan adalah bagaimana mewujudkan dunia kerja yang di satu sisi menantang, namun tidak eksploitatif, membangun jenjang karier yang fair bebas "ordal" (orang dalam), dan seimbang antara menempelkan KPI (key perfomance indicator) dan membangun suasana kerja yang asik.
Keseimbangan antara kerja dan hidup. Filosofi ini rasanya menjadi pembelajaran penting yang diberikan Gen Z bagi generasi-generasi sebelumnya. Bahwa hidup semata-mata bukan soal pekerjaan semata.
Sebanyak 92 persen Gen Z memandang work-life balance menjadi hal penting dalam pekerjaan mereka. Dari jumlah tersebut, 74 persen menyatakan penting sekali untuk memiliki kesehatan mental di tempat kerja.
Catatan: Mengapa work-life balance menjadi penting bagi Gen Z? Ada berbagai jawaban mereka: menjaga kesehatan mental, menambah semangat kerja, mengurangi stres, meningkatkan perfoma kerja, membangun hubungan sosial yang sehat, hingga menyalurkan hobi.
Hidup seimbang pun dapat dibangun di dalam kantor. Hal ini tergambar dalam harapan mereka terhadap gambaran kantor yang "sehat": suasana kantor yang nyaman (59 persen), waktu kerja fleksibel (40 persen), gaji dan bonus kompetitif (42 persen), dan bos yang "baik".
Khusus pemimpin, pekerja Gen Z memiliki kriteria mereka sendiri: adil (87 persen), bertanggungjawab (77 persen), terbuka terhadap masukan (70 persen), menghargai (69 persen), jujur (65 persen), berkomunikasi secara transparan (59 persen), serta berpengalaman (49 persen), dan memiliki inisiatif (40 persen).
Baca juga: Benarkah Gen Z Paling Menguasai Bahasa Inggris ketimbang Milenial?
"Kebo Nyusu Gudel" atau kerbau menyusu kepada anak kerbau. Peribahasa Jawa yang menarik ini penulis dapatkan dari Mas Suwandi S. Brata yang kala itu menjabat Direktur Publishing and Education PT Gramedia Asri Media.
Peribahasa ini dapat dimaknai sebagai orangtua yang bisa belajar dari anak-anak mereka, termasuk dalam dunia kerja.
Jika kita mau membuka cakrawala, selalu saja ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari generasi yang lebih muda seperti Gen Z, generasi "Si Paling Work-Life Balance".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.