Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wasiaturrahma
Guru Besar di FEB Universitas Airlangga

Pengamat Moneter dan Perbankan, Aktif menulis beberapa buku, Nara sumber di Radio dan Telivisi ,seminar nasional dan internasional juga sebagai peneliti

Bahaya Inflasi Vs Deflasi

Kompas.com - 18/04/2024, 07:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun jika tidak, pada akhirnya, perekonomian mungkin akan berada dalam kondisi lesu berkelanjutan.

Seperti pendapat John Maynard Keynes, ekonom Inggris yang terkenal, melumpuhkan apa yang disebutnya “animal spirits” dalam bisnis, pada saat tekanan ekonomi berada pada ketidakpastian.

Hal ini kemudian dapat menciptakan spiral yang kejam alias inflasi yang tidak terkendali: investasi yang rendah berarti lemahnya permintaan dan rendahnya pertumbuhan ekonomi, sehingga membenarkan keputusan untuk menunda investasi.

Di dunia pascakrisis, banyak sekali alasan yang membuat masyarakat merasa tidak yakin dan bertindak hati-hati.

Politik populis merupakan salah satu sumber ketidakpastian, terutama di Amerika Serikat dengan bangkitnya “Tea Party” pada 2009 melalui rangkaian protes lokal maupun nasional. Saat itu terjadi permintaan yang lemah dan fluktuatif serta berlanjutnya kerapuhan keuangan.

Oleh karena itu, dampak keseluruhan dari krisis ini adalah melemahnya pasokan dibandingkan dengan tren sebelum krisis, namun yang lebih parah lagi adalah melemahnya permintaan dibandingkan dengan melemahnya pasokan.

Bahayanya adalah periode berkepanjangan yang disebut dengan “resesi neraca”, di mana sektor swasta yang terbebani utang mencoba, atau terpaksa, menurunkan utangnya atau setidaknya tidak mau atau tidak mampu menambah utangnya.

Negara-negara berkembang terbukti jauh lebih tangguh. Hal ini merupakan hasil perbaikan besar dalam kebijakan selama beberapa dekade sebelumnya.

Hal yang paling penting adalah pergerakan menuju posisi eksternal yang lebih kuat, termasuk akumulasi cadangan devisa secara besar-besaran, terutama oleh negara-negara berkembang di Asia, salah satunya Tiongkok.

Memberi mereka ruang untuk meningkatkan permintaan dalam negeri dan dengan cepat kembali menuju ketingkat kesejahteraan, meskipun terjadi krisis.

Negara-negara emerging dan berkembang yang tidak mampu meningkatkan permintaannya sering kali mampu memanfaatkan stimulus negara lain, khususnya Tiongkok.

Hal ini terutama terjadi pada eksportir komoditas, yang mencerminkan pergeseran penting dan mungkin akan bertahan lama dalam perekonomian dunia: perekonomian inti lama menjadi semakin terpinggirkan.

Keberlanjutan kebijakan ekspansif yang diadopsi oleh negara-negara berkembang, sehingga mereka mampu untuk berkembang dan menguasai perekonomian global, sementara negara-negara berpendapatan tinggi masih lemah, dan masih diragukan.

Hal paling penting yang perlu diwaspadai adalah risiko perlambatan tajam perekonomian Tiongkok dan kemungkinan melemahnya harga komoditas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com