Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Faisal Basri Nilai RI Butuh Desain Baru Transformasi Ekonomi Berbasis Kelautan

Kompas.com - 08/10/2021, 18:11 WIB
Yohana Artha Uly,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom senior Faisal Basri menilai, Indonesia membutuhkan transformasi struktural dalam mendorong perekonomian, khususnya yang berbasis kelautan. Hal ini mengingat karakteristik geografis RI yang merupakan negara maritim.

"Laut yang mempersatukan pulau-pulau kita sehingga bisa mengintegrasikan perekonomian domestik. Jadi yang diperlukan adalah desain baru tranformasi ekonomi berbasis keunikan kita ini," ujarnya dalam webinar Kemenhub, Jumat (8/9/2021).

Sayangnya, komposisi sektor transportasi laut masih rendah ketimbang transportasi lainnya, bahkan cenderung menurun di beberapa tahun belakangan. Pada 2010 porsi angkutan laut 8,96 persen, lalu turun menjadi 6,77 persen di 2015 dan 5,75 persen di 2019.

Tren kenaikan porsi angkutan laut baru terjadi di masa pandemi Covid-19 yakni menjadi 6,49 persen di 2020, dan sepanjang semester I-2021 porsinya mencapai 7,08 persen.

Baca juga: Apa Saja yang Termasuk Pajak Penghasilan atau PPh?

"Sedihnya kalau dilihat, angkutan laut kian turun, tapi justru paling tahan di era pandemi, yang paling tidak tahan itu kereta api dan udara," kata Faisal.

Komposisi transportasi paling besar di Indonesia adalah angkutan udara. Porsi angkutan ini trennya naik sebelum pandemi, seperti pada 2010 mencapai 15,69 persen, lalu naik menjadi 24,9 persen di 2015 dan 29,26 persen di 2019.

Namun, meski tetap memegang komposisi terbesar, tren angkutan udara menurun di masa pandemi menjadi 15,21 persen di 2020 dan hingga akhir Juni 2021 sebesar 13.13 persen.

"Jadi kita bias udara, lautnya terbengkalai. Sektor udaranya mengangkut manusia, laut angkut barang. Kita jadi keteteran di barangnya. Manusianya makin mobile, tapi barangnya masih mahal kalau diangkut lewat laut," jelas dia.

Faisal menambahkan, transportasi sendiri menjadi sektor penyumbang defisit transaksi berjalan yang besar mencapai miliaran dollar AS setiap tahunnya. Lantaran, Indonesia lebih banyak menggunakan kapal atau maskapai asing, ketimbang pihak asing menggunakan kapal dan maskapai RI.

Baca juga: Ini Aturan Pemotongan Upah di PP 36 Tahun 2021

"Ini yang saya rasa perlu jadi perhatian kita, akan membantu kalau bisa dibenahi di pasar internasional, setidaknya defisit bisa ditetakan 50 persen," ungkapnya.

Oleh sebab itu untuk perdagangan internasional, menurutnya, Indonesia hanya perlu fokus di pasar Asia. Hal ini melihat 10 negara yang menjadi pasar Indonesia 9 diantaranya negara Asia, namun demikian porsinya masih kecil sehingga perlu lebih dioptimalkan.

"Jangan terlalu jauh mencaru kawan, potensinya luar biasa ASEAN dan negara-negara asia lainnya seperti Jepang, India," imbuh Faisal.

Ia menjelaskan, dengan berfokus pada pasar Asia dan domestik, maka penggunaan kapal dan pesawat pun tak perlu yang berukuran sangat besar, sehingga bisa menghemat biaya. Namun, hal ini perlu dibarengi pula dengan perkembangan produk Indonesia agar didominasi manufaktur bukan barang mentah.

"Perlu memilih model bisnis yang sesuai, bukan serba yang paling besar, enggak usaha, karena kita akan dagangnya dengan Asia dan sesama daerah Indonesia," pungkasnya.

Baca juga: Satgas BLBI: Aset Obligor Terus Diblokir secara Masif

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Status Internasional Bandara Supadio Dihapus, Pengamat: Hanya Jadi 'Feeder' bagi Malaysia dan Singapura

Status Internasional Bandara Supadio Dihapus, Pengamat: Hanya Jadi "Feeder" bagi Malaysia dan Singapura

Whats New
Naik 36 Persen, Laba Bersih Adaro Minerals Capai Rp 1,88 Triliun Sepanjang Kuartal I-2024

Naik 36 Persen, Laba Bersih Adaro Minerals Capai Rp 1,88 Triliun Sepanjang Kuartal I-2024

Whats New
Jokowi Tambah Alokasi Pupuk Subsidi Jadi 9,55 Juta Ton di 2024

Jokowi Tambah Alokasi Pupuk Subsidi Jadi 9,55 Juta Ton di 2024

Whats New
Dampak Erupsi Gunung Ruang, 5 Bandara Masih Ditutup Sementara

Dampak Erupsi Gunung Ruang, 5 Bandara Masih Ditutup Sementara

Whats New
Kadin Gandeng Inggris, Dukung Bisnis Hutan Regeneratif

Kadin Gandeng Inggris, Dukung Bisnis Hutan Regeneratif

Whats New
Harita Nickel Catat Kenaikan Pendapatan 26 Persen pada  Kuartal I 2024

Harita Nickel Catat Kenaikan Pendapatan 26 Persen pada Kuartal I 2024

Whats New
Bappenas Buka Lowongan Kerja hingga 5 Mei 2024, Simak Persyaratannya

Bappenas Buka Lowongan Kerja hingga 5 Mei 2024, Simak Persyaratannya

Work Smart
Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045, Kemenko Perekonomian Berupaya Percepat Keanggotaan RI dalam OECD

Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045, Kemenko Perekonomian Berupaya Percepat Keanggotaan RI dalam OECD

Whats New
Indonesia dan Arab Saudi Sepakat Menambah Rute Penerbangan Baru

Indonesia dan Arab Saudi Sepakat Menambah Rute Penerbangan Baru

Whats New
BJBR Bukukan Laba Rp 453 Miliar pada Kuartal I 2024

BJBR Bukukan Laba Rp 453 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Microsoft Investasi Rp 27,6 Triliun di RI, Luhut: Tidak Akan Menyesal

Microsoft Investasi Rp 27,6 Triliun di RI, Luhut: Tidak Akan Menyesal

Whats New
May Day 2024, Pengemudi Ojek Online Tuntut Status Jadi Pekerja Tetap

May Day 2024, Pengemudi Ojek Online Tuntut Status Jadi Pekerja Tetap

Whats New
BTN Imbau Masyarakat Tak Tergiur Penawaran Bunga Tinggi

BTN Imbau Masyarakat Tak Tergiur Penawaran Bunga Tinggi

Whats New
ADRO Raih Laba Bersih Rp 6,09 Triliun pada Kuartal I 2024

ADRO Raih Laba Bersih Rp 6,09 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Elnusa Bukukan Laba Bersih Rp 183 Miliar di Kuartal I-2024

Elnusa Bukukan Laba Bersih Rp 183 Miliar di Kuartal I-2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com