KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Intellectual Humility

Kompas.com - 20/11/2021, 08:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


DUNIA yang sedang dikejutkan oleh disrupsi teknologi ini kerap membuat banyak orang tegang. Banyak hal tiba-tiba harus dihadapi. Misalnya, ada urgensi untuk berpikiran terbuka, belajar dari orang lain, berkolaborasi, dan merangkul perbedaan.

Para eksekutif pun mulai saling tunjuk. “Saya sih mau berubah, tetapi bagaimana dengan atasan saya dan bagian-bagian lain? Merekalah yang harus menerima lebih banyak wejangan. Merekalah yang sulit sekali membuka hati.”

Apa penyebab sebenarnya seseorang sulit menerima pendapat orang lain? Lalu, apa yang secara tidak sadar mendominasi pembicaraan sehingga ada kesan tidak memberi kesempatan orang lain untuk berkomentar atau berargumentasi?

Baca juga: Menemukan Diri Sendiri

Secara tidak sadar, kita mungkin pernah bersikap arogan dengan membentak atau mengeluarkan ekspresi merendahkan ketika orang lain menyatakan komentar atau argumennya. Inilah yang bisa kita sebut sebagai sindrom intellectual arrogance.

Banyak atasan tanpa sadar berusaha membuat solusi tanpa memeriksa pendapat peserta rapat lainnya. Dalam hal ini, ia merasa bangga atas sikapnya karena menilai diri sendiri lebih tahu daripada peserta rapat.

Contoh yang ekstrem dari intellectual arrogance dapat kita temukan pada mantan Presiden AS Donald Trump. Ia mengatakan, “I have a natural instinct for science” ketika membicarakan kelanggengan lingkungan.

Baca juga: Mengatasi Imposter Syndrome

Arogansi seperti itu juga dapat menular ke orang lain. Kalau boleh memberi contoh, kita bisa melihatnya lewat skandal Enron.

Perusahaan energi tersebut merasa demikian kuat dan sering dipuji karena intellectual brilliance-nya. Namun, Enron terpaksa bubar karena kesalahan-kesalahan pengambilan keputusan.

Namun, mengapa kita sering dibutakan oleh hal ini? Seorang ahli mengatakan, “Our ignorance is invisible to us.” Kita sering tidak sadar bahwa kita dianggap orang lain arogan.

Baca juga: Karier Anda, Tanggung Jawab Anda

Beberapa ahli menganggap bahwa arogansi intelektual ini sangatlah serius. Individu yang memiliki pola pikir seperti ini menganggap, cara berpikirnya superior ketimbang orang lain.

Oleh karena itu, dia tidak bisa menerima kritik ataupun bantahan. Ia pun akan melakukan judgement hanya berdasarkan intelektualitasnya. Pemikirannya didominasi oleh pemahaman, “my way or the highway”. Tentunya pola pikir semacam ini sangat menghambat kemajuan.

Sebenarnya, banyak orang memang pintar. Namun, bila kemudian karena pintar ia menjadi arogan, kebijaksanaan akan memudar dalam pemikirannya.

Baca juga: Merancang Kantor Masa Depan

“Wisdom ceases to be wisdom when it becomes too proud to weep, too grave to laugh, and too selfish to seek other than itself.” – Khalil Gibran

Kecerdasan tampil secara berbeda-beda pada setiap individu. Ada orang cerdas yang kemudian menjadi seperti kutu buku. Ia terlalu fokus, ahli, dan berkonsentrasi penuh pada sesuatu yang diminatinya.

Ada lagi, kalangan intelektual yang spesifik, seperti ahli kopi, ahli serangga, ahli tanaman anggrek, dan ahli-ahli lainnya. Karena sudah jadi ahli, mereka tidak bisa menerima pendapat orang lain yang masuk ke ranah pengetahuannya.

Baca juga: Produktivitas di Hybrid Office

Ada pula yang memiliki wawasan luas, tetapi kurang mendalam sehingga hanya bisa melihat permasalahan di permukaannya saja.

Banyak juga individu berkeahlian spesifik, tetapi tidak update dalam pengetahuan umumnya. Arogansi membuat pemikirannya tertutup bagi pengetahuan yang dibawa orang lain.

Di sinilah, kita perlu mengingat terus bahwa kita perlu mengembangkan intellectual humility. Karena bila kita sudah menjadi arogan, proses belajar juga akan terhenti.

Menerima kemungkinan salah

Intellectual humility merupakan kesadaran bahwa keyakinan yang dimiliki bisa saja salah.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman
Namun, hal itu bukan masalah ke-pede-an atau kurangnya keyakinan diri. Ini adalah metode berpikir untuk selalu membuka kemungkinan tentang keberadaan fakta lain yang bisa menjadi tambahan atau malah menggugurkan keyakinan.

Baca juga: Politik Kantor

Intellectual humility juga berarti pengembangan rasa ingin tahu terhadap blind spots pemikiran kita sendiri.

Sikap mental tersebut seperti “siapa tahu ada hal yang luput dari perhatian ataupun pemikiran kita” yang seharusnya tertanam pada diri. “It’s a process of monitoring your own confidence.”

Dalam hidup, bekerja, apalagi sebagai seorang knowledge worker, kita perlu tetap memiliki obsessive curiosity.

Baca juga: Digital Generation Gap

 

Kita perlu mempertanyakan segala sesuatu, termasuk keyakinan kita sendiri. Diversity of thought is essential to find the best solutions.

The world needs more wonder

Sebenarnya, kita dapat mengambil sikap seorang ilmuwan bila mau menghidupkan intellectual humility di dalam benak.

Seorang ilmuwan tidak pernah puas dengan pengetahuan yang sudah didapatkannya. Bahkan, ia kerap mengkritik pemikirannya terdahulu ketika menemukan fakta baru yang berbeda.

Ia selalu mempertanyakan, membangun hipotesis baru, bereksperimen, dan tidak pernah berhenti mencari tahu. Ada beberapa sikap mental yang bisa menjadi kebiasaan kita.

  • Sadari kebutaan mental. Gunakan kiat "The Devil is in the detail". Perhatikan hal-hal kecil dan pastikan bahwa keputusan pengetahuan yang kita miliki memang berlandaskan fakta, baik yang mendukung maupun yang berlawanan.
  • Beranilah mengaku salah. Pada kenyataannya, pemimpin yang berani mengakui kesalahannya secara ksatria lebih disukai ketimbang mereka yang arogan dan merasa selalu benar.
  • Memimpin adalah tindakan kolektif. Kita tidak bisa memimpin organisasi sendirian. Di balik seorang eksekutif yang kuat, pasti ada tim yang kuat pula. Seorang pemimpin yang baik pasti akan membangun kelompok agent of change. Mereka adalah sekelompok individu yang berani melakukan gebrakan-gebrakan agar organisasi dapat terus bergerak maju, bukan followers yang menurut saja.
  • Hindari ego yang defensif. Dorong anggota tim Anda agar berani bicara dan mengungkapkan pendapat-pendapat alternatif. Kuatkan tim untuk menantang status quo.
  • Gunakan prinsip “yes, and….” manakala Anda merasa ada yang kurang tepat dan ingin dikoreksi. Kita juga perlu mengingat bahwa lebih baik menjadi orang yang bijaksana daripada sekadar pintar.

Hal yang perlu disadari adalah kita perlu menjaga keseimbangan antara keyakinan dan humility dalam mengetahui sesuatu. Namun, ini tak berarti bahwa kita harus mengalah pada sanggahan terhadap semua keyakinan kita.

Baca juga: “Talent Pool”: Mengapa Sering Kosong?

Kita hanya perlu selalu membuka pikiran terhadap masukan yang datang, baik itu yang positif maupun negatif. Kita pun harus tetap mengingat bahwa lingkungan tidak selamanya bersahabat dengan orang yang intellectually humble. Inilah tantangan kita.

“Kebijaksanaan tidak lagi merupakan kebijaksanaan apabila ia menjadi terlalu angkuh untuk menangis, terlalu serius untuk tertawa, dan terlalu egois untuk melihat yang lain kecuali dirinya sendiri.” - Kahlil Gibran

 


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com