Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup dari APBN, Berapa Pendapatan TVRI dari Siarannya?

Kompas.com - 30/04/2023, 19:37 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Siapa tak kenal dengan Televisi Republik Indonesia alias TVRI. Dari perjalanan sejarahnya, status TVRI juga sempat bergonta-ganti.

TVRI pernah menjadi BUMN, dari Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perseroan Terbatas (PT). Kini, dengan berubahnya TVRI menjadi LPP, operasional TVRI tetap bergantung pada dana APBN. Selain itu, TVRI juga memperoleh pendapatan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Jenis-jenis PNBP TVRI yang diatur dalam PP Nomor 33 Tahun 2017 berasal dari jasa tayang, produksi program, media online, penggunaan sarana dan prasarana siaran, pendidikan pelatihan, dan layanan digitalisasi penyiaran.

TVRI terakhir kali mempublikasikan laporan keuangan terakhirnya pada 2021. Laporan keuangan tersebut diterbitkan oleh Direktorat Keuangan TVRI yang sudah diaudit.

Baca juga: Nostalgia TVRI di Era Soeharto, Nonton TV Harus Bayar Iuran

Dalam laporan keuangan 2021 (audited), pendapatan TVRI dari PNBP terealisasi tercatat sebesar Rp 148,12 miliar. Besaran PNBP yang diterima ini lebih rendah dibandingkan target anggaran sebesar Rp 152,05 miliar.

Jika menggantungkan operasional dari PNBP tersebut, tentu jumlahnya jauh dari mencukupi. Sebagai perbandingan saja, beban untuk belanja pegawai mencapai Rp 385,11 miliar.

Belum lagi beban belanja barang yang mencapai Rp 505,44 miliar serta belanja modal Rp 275,38 miliar. Dengan demikian, total bebannya adalah Rp 1,16 triliun.

Untuk menutup defisit tersebut, TVRI selama ini mengandalkan dari suntikan APBN pemerintah. Sebagai informasi, untuk tahun 2022, TVRI mendapatkan alokasi dana APBN sebesar Rp 1,6 triliun.

Baca juga: Sejarah TVRI, Penyiar Film G30S yang Sempat Jadi BUMN

TVRI pernah hidup dari iuran warga

Diberitakan Harian Kompas, TVRI memulai siaran pertamanya pada 24 Agustus 1962. Namun, untuk menikmatinya saat itu tidak mudah karena televisi masih menjadi barang langka dan harganya cukup mahal. Siarannya pun masih terbatas.

Tahun 1965, misalnya, TVRI baru membangun proyek menara televisi di perbukitan Gantung, Gombel, dan Cemorosewu untuk meluaskan siaran di sekitar Jawa Tengah.

Bersamaan dengan itu, dipasang pula televisi di sejumlah tempat umum, seperti stasiun, terminal, dan kantor kecamatan.

Untuk kepemilikan perseorangan, selain pajak, pemilik televisi juga dikenai iuran bulanan. Tahun 1969, misalnya, iuran televisi Rp 200 per bulan dan biaya pendaftaran sekali saja Rp 300, yang semuanya dibayarkan di Kantor Pos. Untuk mendaftarkan televisi, pemilik harus menunjukkan kuitansi pembelian.

Baca juga: Karier Helmy Yahya: Raja Kuis, 3 Kali Gagal Pilkada, Dipecat Dewas TVRI

Sampai 1971, baru terdaftar 11.000 televisi di Tanah Air. Padahal, jumlah televisi yang ditonton masyarakat sekitar 150.000 unit. Masih banyak warga yang enggan membayar iuran bulanan.

Karena itu, razia kepemilikan televisi saat itu sering dilakukan dari rumah ke rumah. Pemilik televisi yang tidak membayar atau terlambat membayar iuran televisi dikenai denda.

Razia yang dilakukan pada 2 Juli hingga 27 September 1973 di Jakarta, misalnya, menemukan ada 4.308 pesawat televisi yang belum didaftarkan kepemilikannya.

Dari hasil razia tersebut, Daerah Pos I Jakarta menerima denda dan iuran sebesar Rp 9.915.200.

Mulai 1 Januari 1974, iuran televisi naik menjadi Rp 500 per bulan untuk pesawat televisi ukuran 16 inci ke bawah dan Rp 750 per bulan untuk pesawat televisi ukuran di atas 16 inci.

Kini televisi bukan lagi barang mewah. Siaran televisi bahkan bisa dilihat melalui layar smartphone. Televisi berada dalam genggaman. Iuran televisi pun sudah tidak ada lagi.

Baca juga: BPK Bakal Laporkan Hasil Audit TVRI ke DPR, Apa Bocorannya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com