Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Risiko Tersembunyi Hilirisasi Nikel

Kompas.com - 22/06/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HASIL kajian Tim Studi China - Indonesia di Center of Economic and Law Studies (Celios), terkait hilirisasi nikel di Sulawesi sangat menarik.

Sebagaimana dipaparkan oleh Direktur Studi China Indonesia Celios, M Zulfikar Rakhmat Ph.D, Indonesia tekor Rp 32 triliun dari investasi smelter nikel asal China.

Angka tersebut, kata beliau, belum termasuk kerugian atas rusaknya alam dan lingkungan di sekitar smelter nikel (Inilah.com, 20/6/2023).

Angka itu didapat dari perhitungan Celios berdasarkan pemberian tax holiday kepada smelter nikel China di Sulawesi selama rentang waktu 30 tahun, alias perusahaan-perusahaan tersebut tidak membayar pajak.

Jadi, Indonesia tidak saja rugi secara ekonomi karena harus menahan diri dari hasrat untuk mendapatkan revenue (fiskal), tapi justru juga harus menanggung beban lingkungan, berupa kerusakan alam.

Hal itu bisa terjadi karena, masih menurut Celios, mereka tidak mengantongi izin perusahaan yang disebut dengan Environmental, Social, Governance (ESG) license.

Hasil kajian ini sangat menarik sehingga saya terpanggil untuk membahasnya lebih lanjut.

Sebenarnya, dalam tulisan-tulisan saya terdahulu terkait dengan pertambangan di Sulawesi, pandangan saya tidak jauh berbeda dengan hasil kajian Celios ini.

Banyak pekerjaan rumah yang sejatinya harus dibenahi oleh pemerintah di sana, tapi justru dibiarkan terus berlangsung, bahkan didukung oleh lingkaran elite-elite yang menguasai tatanan ekonomi politik nasional kita.

Kerugian yang digambarkan Celios, adalah "jenis trade off" yang tak sepadan dengan yang seharusnya diterima Indonesia.

Boleh jadi angka tersebut belum mamasukkan "opportunity loss" yang dialami para penambang lokal akibat pelarangan ekspor nikel mentah ke luar negeri.

Penambang-penambang domestik harus menjual nikel hasil tambangnya kepada pihak industri, yang notabene dikuasai asing (China), dengan harga diskon alias di bawah harga pasar global.

Jika dikalkulasi, angkanya tentu tidak kalah besarnya. Celakanya, "opportunity loss" yang dialami penambang lokal menjadi keuntungan besar di tangan pelaku industri dari China, yang sebelumnya justru sudah mendapatkan keringanan pajak (tax holiday) dari pemerintah.

Di mana letak persoalan dasarnya? Dalam hemat saya, pemerintah kita terlalu berambisi untuk melakukan hilirisasi nikel, tapi dilakukan secara tidak terukur.

Hanya karena ingin "cepat" proses hilirisasinya selesai, lalu semua keinginan investor dituruti. Sialnya, investor tersebut mayoritas berasal dari China, yang memiliki gaya berinvestasi agak merkantilistik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com