Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Produsen Keramik Asal China Nilai Kebijakan Antidumping RI Tidak Adil

Kompas.com - 07/07/2023, 11:10 WIB
Elsa Catriana,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Impor keramik asal China yang masuk ke Indonesia kini tengah menjadi polemik. Pasalnya, masuknya produk impor asal negeri Tirai Bambu tersebut dinilai merusak iklim industri keramik dalam negeri.

Kondisi tersebut membuat pemerintah mengambil sejumlah langkah untuk menyelamatkan industri keramik nasional. Jauh sebelum polemik ini merebak, pemerintah Indonesia telah menetapkan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atau safeguard pada produk keramik.

Menanggapi hal tersebut, produsen keramik asal China, PT Foshan Deer Marble Tile Co, Ltd dengan merek dagang Deer Tile angkat suara.

Baca juga: Keramik Impor dari China Banjiri RI, Kemenperin Minta Pengusaha Lokal Agresif Ekspor

Deer Tile menilai kebijakan antidumping yang akan diterapkan oleh pemerintah Indonesia merupakan suatu langkah yang tidak adil. Pasalnya, produk yang diimpor oleh Deer Tile merupakan produk keramik yang berkualitas dan memiliki teknologi tinggi.

"Produk kami (Deer Tile) itu bukan ancaman bagi produk dalam negeri. Pasalnya, harga kami jauh lebih tinggi 70 persen dari produk dalam negeri Indonesia," ujar Huang Zhong Fan, Marketing Director Deer Tile dalam siaran persnya dikutip Jumat (7/7/2023).

Dirinya menjelaskan bahwa tujuan Deer Tile datangkan produk untuk dipasarkan di Indonesia semata-mata untuk meningkatkan pengetahuan dan kualitas kepada seluruh end user, sehingga bisa mendapatkan suatu produk yang terbaik.

"Ini suatu hal yang sangat disayangkan jika antidumping diberlakukan, karena produk Deer Tile bukan produk B3 yang banyak diproduksi di Indonesia dan juga bukan B1b ataupun B1a yang juga di produksi di dalam negeri Indonesia. Produk Deer Tile memiliki teknologi dan inovasi terkini terutama pada ketahanan gores pada permukaan tile nya," terangnya.

Baca juga: Keramik Impor China Banjiri Indonesia

Terkait pemberian insentif dari pemerintah China sebesar 14 persen untuk produsen keramik yang melakukan ekspor, Deer Tile membantah hal tersebut. Justru, Deer Tile sangat mengharapkan jika aturan tersebut benar-benar diterapkan oleh pemerintah China.

"Selama ini kebijakan pemberian insentif 14 persen dari pemerintah China tidak pernah ada, justru kami dibebankan pajak PPH, dan PPN karena adanya beberapa kenaikan bahan baku seperti gas dan minyak," papar Huang Zhong.

Namun di sisi lain, lanjut dia, pemerintah China seperti pada umumnya negara-negara WTO termasuk Indonesia memberikan insentif kepada perusahaan untuk mengajukan retritusi atau pengembalian kembali pajak di setiap tahunnnya.

"Di setiap akhir tahun, perusahaan tersebut boleh mengkalkulasi atau menghitung pajak masukan dan keluaran, jika ada kelebihan pajak maka boleh mengajukan retritusi maksimalnya 13 persen bukan 14 persen," tambahnya.

"Jadi, kalau insentif 14 persen untuk ekspor itu berarti tanggapannya setiap perusahaan di China yang melalukan ekspor kemanapun maka pemerintah China akan memberikan subsidi sebesar 14 persen. Itu tidak benar, yang ada hanya retritusi dan itupun di negara manapun ada termasuk Indonesia," papar Huang Zhong.

Baca juga: Asosiasi Keramik: Utilisasi Industri Keramik Terpuruk Jika PPKM Level 4 Terus Berlanjut


Dengan begitu menurut dia, export rebate yang dimaksud oleh salah satu Asosiasi Keramik di Indonesia adalah secara prinsip selisih antara pajak masukan dan keluaran.

Praktek ini pada umumnya diterapkan di negara-negara pada umumnya termasuk Indonesia. Namun, perbedaannya adalah Tiongkok menerapkan ceiling, misalnya 14 persen. Artinya, selisih yang dapat ditagih/dibayarkan dari kelebihan pembayaran PPH masukan tidak melebihi 14.

Adapun, hak untuk menagih selisih tersebut dikarenakan tidak dipungutnya PPN ekspor, sementara pembelian bahan baku dari domestik market Tiongkok dikenakan PPH.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com