KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Defisit Keputusan

Kompas.com - 15/07/2023, 07:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA beberapa organisasi besar yang kita pikir sudah memiliki sistem yang established, ternyata masih sering kita temui komentar miring dari karyawan, seperti “soal jatah cicilan mobil, hanya big boss dan Tuhan yang tahu”.

Bayangkan, satu keputusan yang sebenarnya bisa dengan mudah disusun dalam aturan perusahaan, ternyata masih harus dikendalikan chief executive officer (CEO) perusahaan secara langsung.

Di tempat lain, pemangku jabatan setingkat direktur pun terasa tidak dapat memanfaatkan wewenangnya untuk memutuskan hal terkait selera dari pimpinan tertinggi organisasi.

Budaya seperti itu lebih umum berkembang dalam organisasi-organisasi dengan pemilik perusahaan yang juga berperan sebagai CEO. Sebab, mereka sudah terbiasa mengambil keputusan tanpa perlu memberikan penjelasan kepada siapa pun.

Mereka yakin pada instingnya dalam mengambil keputusan. Apalagi, keputusan itu telah terbukti membuat mereka berhasil mengembangkan perusahaan sampai seperti sekarang. Hal ini pun membuat bawahan tidak berani mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan pimpinan karena khawatir pimpinan memiliki pertimbangan sendiri.

Memang, tidak semua keputusan bisa didelegasikan, terutama yang menyangkut arah organisasi secara keseluruhan.

Presiden Mastercard Inggris Kelly Devine mengatakan, “The only time i really feel it’s hard to delegate is when the decision is in a highly pressurized, contentious, or consequential situation, and i simply don’t want someone on my team to be carrying that burden alone.”.

Persiapan transisi delegasi

Saat ini, sebagian besar pengambilan keputusan bahkan dapat dilakukan oleh mesin dengan algoritma. Dengan demikian, sumber daya manusia (SDM) yang ada dapat mengalihkan waktu dan energi mereka pada tugas-tugas lain yang membutuhkan analisis lebih strategis.

Demikian pula bila pimpinan dapat mengalihkan sebagian besar tugas pengambilan keputusan operasional kepada bawahannya yang sehari-hari menghadapi situasi di lapangan. Ia akan memiliki waktu lebih banyak untuk mengeksplorasi peluang baru serta memikirkan langkah antisipatif untuk membuat organisasinya tetap kompetitif.

Namun, dalam praktiknya, hal itu sulit diwujudkan. Pimpinan yang sudah terbiasa mengambil keputusan sendiri sering kali tidak memiliki panduan yang jelas. Karyawan dibiarkan mengambil tanggung jawab untuk mengambil keputusan dengan meraba-raba tanpa dukungan yang jelas.

Bisa jadi, para pemimpin itu juga tidak puas dengan mutu keputusan bawahan sehingga akhirnya mereka lagi-lagi membuat keputusan sendiri sesuai dengan intuisinya

Eileen Rachman.Dok. EXPERD Eileen Rachman.

Pemimpin merasa frustrasi dengan kurangnya kualitas keterampilan para bawahan dalam membuat keputusan. Sementara, bawahan khawatir dengan konsekuensi jika mereka salah dalam mengambil keputusan, baik bagi keberlangsungan organisasi maupun dirinya sendiri.

Untuk itu, perubahan pertama-tama harus dilakukan oleh pimpinan. Ia perlu merencanakan transisi tanggung jawab secara bertahap untuk membangun kepercayaan dirinya sendiri dalam melakukan delegasi serta kepercayaan diri bawahan terhadap keterampilan pengambilan keputusan mereka.

Pemimpin yang tidak bersungguh-sungguh mendelegasikan keputusannya ke bawahan akan tetap bertahan pada kultur pengambilan keputusan yang terpusat pada dirinya.

Pemimpin perlu mentransfer keterampilannya dalam melihat potensi risiko dari berbagai pilihan yang ada. Upaya ini perlu dilengkapi dengan beragam hambatan pribadi yang perlu ditangani oleh seorang pengambil keputusan, seperti kepercayaan diri yang berlebihan, wawasan yang sempit, kelelahan, sampai kepada guts dalam mengambil keputusan. Proses ini membutuhkan dialog yang panjang dan intensif antara pemimpin dengan bawahannya, apalagi bila menyangkut keputusan-keputusan yang dilematis.

Ada beberapa langkah yang dapat dijadikan pegangan dalam pengambilan keputusan.

Pertama, identifikasikan tujuan. Apa permasalahan utama yang harus diselesaikan, mengapa ini penting?

Kedua, kumpulkan data dan informasi. Data apa saja yang perlu dikumpulkan? Bedakan mana informasi yang berupa data, fakta, dan asumsi.

Ketiga, analisis data dan solusi. Apa kesimpulan yang bisa ditarik dari berbagai data yang dimiliki? Apakah kesimpulan tersebut sudah bebas dari bias-bias pribadi? Apa saja alternatif solusi yang kita miliki? Sudahkah kita mengetahui risiko yang mungkin timbul dari setiap pilihan solusi yang ada? Siapa saja pihak yang terdampak dari setiap pilihan solusi?

Keempat, langkah implementasi. Apakah langkah implementasi yang disusun dapat memastikan tercapainya tujuan dari permasalahan? Hambatan apa yang mungkin timbul dalam proses implementasi dan bagaimana penanganannya?

Kelima, evaluasi. Pelajaran apa yang dapat diambil dari keputusan ini yang dapat menjadi modal untuk membuat keputusan pada masa depan?

Ekspresikan rasa percaya pada bawahan

Setiap orang, baik disadari maupun tidak, membuat keputusan setiap hari untuk orang lain atau dirinya sendiri. Mengambil keputusan yang memiliki dampak lebih besar pada tim dan organisasi memang dapat memicu berbagai emosi, mulai dari kecemasan hingga kegembiraan.

Pimpinan perlu menunjukkan kepada bawahan bahwa ia memercayai kemampuan mereka untuk mengambil keputusan. Kalau perlu, katakan, “Saya percaya Anda akan melakukan yang terbaik bagi organisasi dan apa pun keputusan Anda, saya mendukungnya.”.

Chief Operating Officer CBRE Kevin Aussef menyebut, proses delegasi bermanfaat sebagai persiapan seseorang untuk meraih kemenangan. Dari proses inilah, kita dapat melihat proses pertumbuhan bawahan untuk belajar mengemban tanggung jawab yang lebih besar lagi.

Sebagai pimpinan, kita juga harus belajar untuk menahan diri dari hasrat mencampuri proses pengambilan keputusan, kecuali ada risiko yang substansial bagi bisnis.

Kita juga perlu berbesar hati bila mendapatkan hasil yang tidak sesuai dengan harapan. Sesekali, membiarkan orang gagal dan mengalami konsekuensi negatif dari keputusan mereka akan membantu mereka belajar melakukan yang lebih baik lagi pada masa depan.

Namun, jangan lupa memberi penghargaan di depan publik atas keputusan yang cemerlang.

Setiap proses pembelajaran tentu ada yang sukses dan ada yang gagal. Selama setiap orang menyadari bahwa kegagalan itu adalah pembelajaran, proses delegasi ini akan terus maju hingga mencapai keberhasilan.

 


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com