Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Salah Kaprah mengelola Kekayaan Alam Hayati Indonesia

Kompas.com - 20/07/2023, 15:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA memang telah mencapai usia 78 tahun, namun banyak di antara penduduknya yang belum menyadari bahwa kita masih mengelola warisan kekayaan alam hayati yang bukan asli milik bangsa ini.

Jika harus menyebutkan sepuluh komoditas yang mendukung perekonomian nasional, maka yang muncul adalah: kelapa sawit, pohon karet, kopi, teh, cengkeh, kelapa, kayu, ikan, tanaman obat, dan tanaman hias.

Empat urutan teratas, diisi oleh kekayaan hayati yang berasal dari luar Indonesia.

Pohon karet (Hevea brasiliensis) berasal dari Amerika Selatan. Asal-usulnya dapat ditelusuri ke warga pribumi asli Brasil yang dikenal sebagai suku Amazon. Mereka telah mengenal dan memanfaatkan getah pohon karet selama berabad lamanya.

Kopi yang perkebunannya juga tersebar luas di Indonesia, berawal dari wilayah Ethiopia, Timur Tengah, sekitar abad ke-9.

Teh yang berasal dari tanaman Camellia sinensis, biasanya tumbuh di daerah beriklim hangat seperti Tiongkok, India, Jepang, dan negara-negara lain di Asia.

Tanaman teh telah diketahui tumbuh alami di daerah ini selama ribuan tahun. Suatu teori menyatakan bahwa teh pertama kali dikonsumsi di Tiongkok sekitar 2737 SM.

Kelapa sawit yang kemudian terdomestikasi di Indonesia, “rumah asalnya” dari Afrika.

"Temuan arkeologi mengungkapkan bahwa buah, biji dan kelapa sawit sudah menjadi bagian tak terpisah makanan bangsa Afrika Barat sejak 5.000 tahun lalu," tulis Achmad Mangga Barani dkk dalam Gambut, Sawit, dan Lingkungan (2021).

Malahan jauh sebelum sawit, karet, kopi, dan teh, menjadi primadona perekonomian Indonesia, VOC telah lebih dulu membudidaya kina di Hindia Belanda—dan memanennya dalam jutaan gulden.

Tumbuhan ini diolah untuk menjadi obat malaria, dan jenis obat lain yang sangat dibutuhkan pada masa itu.

Kina berasal dari pohon-dalam genus Cinchona yang tumbuh di pegunungan Andes, Amerika Selatan. Sejak saat itu, terjadilah era industrialisasi dan domestikasi. Tanaman yang sebetulnya bukan asli Indonesia, mulai dibudidaya secara massif.

Sementara rempah, yang beberapa abad sebelumnya sudah menjadi komoditas unggulan, malah ditinggalkan secara pelahan.

Kita belum lagi membahas dunia fauna, seperti ikan mujair, nila, dan mas—yang juga bukan bagian dari kekayaan alam hayati Nusantara.

Kehadiran jenis ikan tersebut, menggusur dominasi ikan Kancra (ikan Dewa), yang pada zaman dahulu dikonsumsi kalangan bangsawan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com