Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Meluruskan Multi Persepsi Legalisasi Sawit Dalam Kawasan Hutan

Kompas.com - 21/07/2023, 11:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TULISAN Angga Hermanda berjudul “Menolak Legalisasi Sawit Korporasi di Kawasan Hutan” (Kompas.Com, 18/07/2023) menarik karena diselipkan beberapa data untuk meyakinkan para pembaca. Namun, jika dibaca hingga selesai dan ditelusuri lebih jauh, kita belum mendapatkan gambaran utuh tentang legalisasi sawit dalam kawasan hutan serta  implikasinya apabila hal itu tidak dilakukan.

Agar tak terjadi multi persepsi tentang legalisasi sawit dalam kawasan hutan, sebagai pemerhati kehutanan, saya mencoba menguraikan persoalan tersebut dalam tulisan ini.

Mengapa ada kebun sawit dalam kawasan hutan? Selain karena lemahnya pengawasan, tidak sikronnya tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten dengan tata guna lahan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi salah satu alasannya. Izin lokasi dan izin prinsip perkebunan ada di kabupaten dan provinsi. Namun izin pelepasan kawasan hutan menjadi kebun ada di KLHK.

Baca juga: Ambiguitas Uni Eropa di Antara Sawit dan Nikel

Pemerintah pernah menertibkan pertambangan dan perkebunan ilegal sejak 2010. Penertiban memicu kegaduhan, terutama dari kepala daerah. Mereka melayangkan surat kepada Presiden bahwa investasi perkebunan dan pertambahan itu bernilai triliunan rupiah.

Lima bupati dan seorang pengusaha kebun sawit di Kalimantan Tengah memohon uji materi Undang-Undang (UU) Kehutanan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengabulkan tuntutan itu dan memerintahkan KLHK untuk tidak sembarangan dalam menetapkan kawasan hutan. Padahal, perizinannya kacau balau.

Ada perusahaan yang memiliki izin perkebunan dari pemerintah daerah, juga mengantongi izin hak guna usaha (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Padahal tak ada pelepasan kawasan hutan untuk arealnya.

Di kebun sawit rakyat, masalahnya lebih rumit dan kompleks. Selain perambahan, jumlahnya banyak dan luasnya kecil-kecil, antara 5-25 hektare. Karena ilegal, baik sawit rakyat dan sawit perusahaan tentu tak membayar pajak.

Menurut KLHK, tahun 2019 terdapat 3,1 -3,2 juta hektare sawit di kawasan hutan. Yayasan Kehati, dalam rapat dengan DPR pada 17 Juni 2021 menyebut 3,4 juta hektare.

Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun itu ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.

Berdasarkan Peta Kawasan Hutan 2021, luas tutupan sawit di kawasan hutan sebesar 3,3 juta hektare (Kompas, 18 Juli 2023). Dari luas tersebut, 237.000 hektare sudah memiliki surat keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan untuk sawit dan sisanya 913,000 hektare masih dalam proses penetapan SK.

Namun sisanya 2,2 juta hektare belum memiliki SK dan belum berproses untuk mendapatkan SK pelepasan kawasan hutan tersebut.

Ada dugaan, kebun sawit seluas 2,2 juta hektare itu mayoritas perkebunan sawit rakyat perorangan dengan luas 5- 25 hektare. Kebun sawit seluas 2,2 juta hektare yang belum ada penyelesaiann ini akan diambil alih Satgas Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara yang dibentuk belum lama ini dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2023 tanggal 14 April 2023.

Baca juga: Menolak Legalisasi Lahan Sawit Korporasi di Kawasan Hutan

Satgas tersebut akan mendata secara mandiri melalui penerapan Sistem Informasi Perkebunan Sawit Indonesia (SIPERIBUN). SIPERIBUN adalah sistem informasi yang digunakan satgas untuk mengelola data dan infomasi perkebunan sawit dalam kawasan hutan. Sistem ini akan digunakan untuk melacak status perkebunan sawit, melakukan pengawasan terhadap perkebunan sawit, dan memberikan sanksi terhadap perkebunan sawit yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Jadi, legalisasi kebun sawit korporasi di kawasan hutan luasnya tidak mencapai 3,3 jua hektare, tetapi hanya 1,1 juta hektare, yang terdiri dari 237.000 ha pemegang SK pelepasan kawasan hutan dan 913.000 ha dalam proses pengurusan SK pelepasan kawasan hutan.

Secara legal formal, proses pemutihan atau pelepasan kawasan hutan untuk kebun sawit adalah sah dan legal sepanjang status fungsi kawasan hutan tersebut adalah hutan produksi, khususnya hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) atau hutan produksi biasa yang telah mengalami perubahan dalam fungsi menjadi HPK.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com