SINYAL kebijakan Bank Indonesia (BI) merespons perekonomian, kerap dimetaforakan dengan dua jenis burung: Elang (hawk/hawkish) dan Merpati (dove/dovish).
Kala ekonomi kepanasan, yang ditandai salah satu cirinya inflasi terlalu tinggi, maka BI mengirimkan sinyal melalui policy rate yang kontraktif (hawkish).
Sebaliknya, kebijakan jinak-jinak merpati, digunakan untuk menggambarkan kebijakan moneter yang longgar atau dovish. Kebijakan menurunkan suku bunga untuk merangsang pertumbuhan ekonomi atau mengatasi resesi.
Bertahan dengan suku bunga 5,75 persen, BI memberi pesan tengah menavigasi makro ekonomi berkelik dari risiko domestik dan global yang masih mengemuka.
Kebijakan moneter dimaksud, diharapkan dapat menjangkar inflasi dan nilai tukar sesuai sasaran; dalam asumsi APBN.
Sementara kebijakan insentif makro diperkuat untuk mendorong kredit pada sisi hilirisasi, perumahan, pariwisata, pembiayaan inklusif yang berkelanjutan melalui digitalisasi UMKM.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 24-25 Juli 2023, suku bunga BI persisten 5,75 persen. Selama 7 bulan sudah, BI –Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) bertengger di 5,75 persen.
Stance BI ini sebagai bentuk sensitivitas kebijakan dalam menjangkar inflasi sesuai sasaran 3 persen ± 1 persen. Stance BI ini sebagai bentuk forward looking terhadap kondisi makro ekonomi global.
Namun suku bunga kebijakan yang masih tinggi dari sejak 25 Desember 2022, menandakan sikap burung elang BI (hawkish).
Kekhawatiran terhadap kondisi eksternal global, berpangkal pada rata-rata inflasi di developed countries yang masih di atas sasaran.
Dari 35 negara anggota OECD, hanya 9 negara yang telah mendekati sasaran inflasi mereka yang rata-rata 2 persen, yaitu Swiss, Spanyol, Korea Selatan, Kanada, Jepang, Finlandia, Australia, Belanda, dan Luksemburg.
Sisanya, 26 negara anggota OECD belum mendekati sasaran inflasi mereka, yaitu Amerika Serikat, Inggris Raya, Denmark, Islandia, Norwegia, Turki, Portugal, Perancis, Irlandia, Belgia, Jerman, Yunani, Swedia, Austria, Italia, Meksiko, Chile, Kolombia, Kosta Rika, Republik Ceko, Estonia, Israel, Latvia, Lithuania, Polandia, dan Slovenia.
Selain itu, rata-rata pertumbuhan ekonomi di negara-negara anggota OECD saat ini adalah sekitar 2,7 persen-2,9 persen pada kuartal-1 2023. Menggambarkan bahwa rata-rata pertumbuhan negara ekonomi utama masih di bawah level pra-pandemi.
Inflasi yang masih di atas sasaran dan kinerja PDB yang belum pulih, menandakan risiko global masih menganga.
Namun kondisi makro global di atas, tak serta merta berdampak pada tingginya volatilitas pasar. Berbagai indikator menunjukkan, iklim pasar semakin adaptif terhadap fluktuasi ekonomi global. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa hal.