Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Brigitta Valencia Bellion
KOMPAS.com - Setiap pekerja memiliki masalahnya masing-masing. Akan tetapi, pekerja perempuan berada di situasi yang lebih sulit karena berbagai faktor. Misalnya, peran ganda sebagai seorang ibu dan istri atau stereotip negatif lingkungan sekitarnya.
Dalam siniar Obsesif episode “The Unseen Battles of Women Leaders” dengan tautan s.id/ObsesifWomen, Baiq Yasmin (Business Messaging Sales Director di ADA) dan Friesta Naintha (General Management Sales di Rumah123.com) turut membagikan tantangan dan peran perempuan di dunia kerja.
Yasmin dan Friesta mengungkap pentingnya support system, bagaimana masyarakat memberi stigma tentang pemimpin perempuan, dan bagaimana pentingnya buat jangan terlalu emosional saat menjadi pemimpin.
Itulah alasan masalah pekerja perempuan saat ini semakin kompleks sehingga memerlukan penanganan yang lebih serius baik bagi pengusaha maupun pemerintah. Dampaknya, tertuang dalam data BPS, yaitu tenaga kerja formal perempuan mengalami penurunan pada 2022 (35.57 persen) sebanyak 0.63 persen jika dibandingkan 2021 (36.20 persen).
Lantas, hal apa yang sebenarnya menjadi penghalang bagi pekerja perempuan di Indonesia?
Pekerja perempuan rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi karena masih tingginya stereotip masyarakat yang menganggap bahwa perempuan adalah pekerja domestik, yang sebagian besar mengurus rumah tangga.
Baca juga: Berorientasi pada Tujuan, Apakah Penting?
Selain itu, rekan kerja laki-laki pun masih menganggap mereka lebih baik daripada perempuan. Hal ini karena perempuan dianggap lebih emosional dalam memutuskan sesuatu dibandingkan menggunakan logikanya.
Alhasil, pekerja perempuan pun dipandang rendah dan kerap dipersulit untuk mendapatkan jenjang karier. Itulah alasan pekerja perempuan mengalami pelecehan seksual yang semakin meningkat setiap tahunnya.
Bahkan, dalam CATAHU 2022 Komnas Perempuan, kekerasan di tempat kerja menempati posisi ketiga tertinggi dengan 115 kasus. Mereka kerap kali mendapat pelecehan secara verbal (godaan), fisik (sentuhan tak diinginkan), hingga psikologis.
Salah satunya adalah kasus pekerja perempuan yang diajak menginap di hotel bersama atasan untuk perpanjangan kontrak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, pun mengecam dan mengutuk tindakan ini.
Selain pelecehan, hak cuti melahirkan, hak memberikan asi, serta hak cuti haid pekerja perempuan juga kerap kali dilanggar oleh perusahaan. Padahal, hak-hak tersebut tertulis dalam undang-undang ketenagakerjaan.
Pasal 81 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, yaitu tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua haid dengan upah penuh. Pasal 83 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur bahwa pekerja perempuan yang masih menyusui anaknya harus diberi kesempatan untuk memerah ASI pada jam kerja.
Dan, Pasal 82 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, yaitu 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan dengan upah penuh. Namun, masih ada perusahaan yang enggan memenuhi hal ini.
Misalnya saja kasus pekerja AICE, dikutip dari Kompas.com (28/02/2020). Diberitakan bahwa sejak tahun 2019 telah terjadi 14 kasus keguguran dan 6 kematian bayi baru lahir yang dialami pekerja perempuan di pabrik es krim tersebut.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya