PRODUKSI padi pada 1980-an menjadi kebanggaan nasional. Saat itu sistem produksi pertanian didukung dan dibina pemerintah secara paripurna.
Harga gabah yang kompetitif dibandingkan harga pupuk, didukung ketersediaan pupuk ditopang Badan Usaha Unit Desa/Koperasi Unit Desa secara enam tepat (jenis, jumlah, mutu, waktu, harga, dan tempat), sehingga pertumbuhan dan produksi padinya optimal.
Harga gabah per kilogram saat itu 1,5 kali harga pupuk, menjadi insentif bagi petani untuk berproduksi.
Sementara saat ini kondisinya bertolak belakang. Alokasi pupuk bersubsidi terus menurun, disertai seringnya terjadinya kelangkaan pupuk saat puncak tanam.
Pupuk nonsubsidi yang harganya sangat mahal seharusnya tersedia, ternyata tidak, terutama ketika harga pupuk di pasar internasional melambung.
Margin keuntungan petani per musim tanam per hektare terus tergerus dengan meningkatnya biaya produksi yang sangat signifikan.
Bahkan petani menyampaikan bahwa mereka beberapa kali mengalami kerugian total tanpa asuransi, karena mengalami kegagalan akibat serangan tikus, serangan hama wereng.
Berdasarkan pemantauan di lapangan, Ngawi, Jawa Timur dan Sukoharjo, Jawa Tengah, petani menyemprot 10 hari sekali, bahkan ada yang 7 hari sekali sampai menjelang panen.
Pada musim kemarau, petani harus mengeluarkan biaya ekstra untuk bayar token listrik untuk memompa air irigasi.
Biaya tenaga kerja yang terus meningkat dan harus berkompetisi dengan upah buruh di pabrik, menjadikan petani pangan sudah jatuh tertimpa tangga. Margin usaha taninya tergerus, tidak berdaya dan semakin tidak berpunya, sehingga terus menderita.
Pertanyaan fundamentalnya, benarkah sistem produksi padi nasional diambang bahaya?
Margin keuntungan petani yang tergerus, tanpa menunjukkan tanda pemulihan, menjadikan sistem produksi padi nasional berada di dalam kondisi alarming.
Akar masalahnya antara lain, karena sistem produksi padi nasional baik dari sisi up stream (pupuk, pestisida, irigasi), on farm (alat mesin pertanian, tenga kerja), down stream (pascapanen, pengolahan hasil dan pemasaran) lebih banyak diserahkan penuh pada mekanisme pasar, terutama aspek hilirnya.
Biaya produksi padi yang terus meningkat, semakin mahal, sementara produksi yang dihasilkan relatif tidak naik secara signifikan, maka margin usaha tani padi semakin tergerus.
Lingkungan yang rusak, ditandai dengan ekploitasi hama dan penyakit dengan intensitas, frekuensi dan durasinya, menyebabkan peningkatan biaya produksi yang signifikan, dengan ketidakpastian usaha semakin tinggi.