Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Momentum Pemilu Bisa Dijadikan Katalis untuk Percepat Transisi Ekonomi Hijau

Kompas.com - 21/12/2023, 10:30 WIB
Kiki Safitri,
Aprillia Ika

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan, momentum pemilihan umum 2024 dapat digunakan sebagai katalis untuk mempercepat transisi ekonomi hijau di Indonesia.

Dia bilang, krisis iklim yang timbul akibat ketergantungan Indonesia dan dunia terhadap industri ekstraktif semakin memperparah dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial. Dia menekankan perlunya komitmen politik untuk bisa mengimplementasikan transformasi dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi berkelanjutan.

“Perlu ada komitmen politik yang kuat dari pemerintah serta calon presiden dan wakil presiden agar Indonesia mampu mengurangi ketergantungannya terhadap industri ekstraktif dan segera mengimplementasikan peralihan ke ekonomi hijau,” kata Leo dalam siaran pers, Kamis (21/12/2023).

“Tanpa komitmen yang kuat, hasil temuan ini hanya akan menjadi pajangan lain di rak buku semata dan masyarakat harus terus menanggung dampak krisis iklim yang semakin parah,” tegas Leo.

Baca juga: Ekonomi Hijau Disebut Bisa Atasi Gap Biaya Hidup dan Pendapatan Pekerja

Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, transisi ke ekonomi hijau diperkirakan dapat memberikan dampak hingga Rp 4.376 triliun ke output ekonomi nasional. Peralihan ini juga diprediksi memberikan tambahan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 2.943 triliun dalam 10 tahun ke depan, atau setara 14,3 persen PDB Indonesia pada tahun 2024.

Efek berganda ekonomi hijau dari sisi PDB jauh melebihi struktur ekonomi saat ini yang masih bergantung pada sektor industri ekstraktif, salah satunya pertambangan, menurut hasil temuan CELIOS dan Greenpeace Indonesia dalam Policy Brief: Dampak Transisi Ekonomi Hijau terhadap Perekonomian, Pemerataan, dan Kesejahteraan Indonesia.

Studi ini juga menemukan bahwa dampak positif ekonomi hijau terhadap PDB ini turut meningkatkan jumlah lapangan kerja dan pendapatan pekerja. Peralihan ke ekonomi berkelanjutan diramal mampu membuka hingga 19,4 juta lapangan kerja baru yang muncul dari berbagai sektor yang berkaitan dengan pengembangan energi terbarukan, pertanian, kehutanan, perikanan dan jenis-jenis industri ramah lingkungan lainnya. Sementara itu, pendapatan pekerja secara total dapat bertambah hingga Rp 902,2 triliun berkat transformasi ini.

Baca juga: Indonesia Sustainability Forum, Upaya Bangun Kemitraan Dunia untuk Ekonomi Hijau

Pelaku usaha pun diuntungkan dengan peralihan ke ekonomi hijau berkat munculnya berbagai industri baru di sektor ekonomi sirkular dan transisi energi. Surplus usaha nasional dari transisi ekonomi hijau diprediksi menembus Rp 1.517 triliun dalam 10 tahun transisi dilakukan.

Hasil studi tersebut juga menemukan bahwa ekonomi hijau mampu mempersempit ketimpangan pendapatan antar provinsi di Indonesia. Indeks Williamson Indonesia diperkirakan dapat turun ke angka 0,65 di tahun ke-10 transisi ekonomi hijau dari 0,74 di tahun pertama transisi.

Tak hanya masyarakat dan pelaku usaha, negara pun dapat meraih manfaat dari ekonomi hijau. Pajak bersih atau penerimaan pajak setelah dikurangi oleh subsidi dari ekonomi hijau dapat menyumbang Rp 80 triliun dari sebelumnya Rp 34,8 triliun yang berasal dari ekonomi ekstraktif. Peralihan ke ekonomi berkelanjutan pun mampu memberikan efek positif dari berbagai sisi.

Efek positif itu mencakup, pencegahan korupsi dari sektor ekstraktif dengan tata kelola (good governance) yang lebih baik, dan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam upaya transisi energi terbarukan. Selain itu, berkurangnya belanja kesehatan dari berkurangnya polusi udara, meningkatnya kebahagiaan masyarakat berkat keseimbangan alam yang terjaga dan, memperkuat daya tahan ekonomi dari fluktuasi harga bahan bakar fosil.

Baca juga: Potensi Ekonomi Hijau dan Biru

Agar transisi ke ekonomi hijau dapat berjalan dengan baik, Bhima mengatakan perlu ada pendanaan dari pemerintah maupun swasta yang mampu mendorong pelaku usaha untuk beralih ke sektor industri berkelanjutan.

“Pemerintah bisa mengalihkan insentif fiskal di sektor bahan bakar fosil dan tambang ke sektor industri berkelanjutan, menerapkan pajak produksi batubara dan pajak windfall profit, serta mengelola dana abadi yang berasal dari pendapatan sumber daya alam (SDA),” ujar Bhima.

“Pemerintah juga harus segera menerapkan pajak karbon untuk mengurangi emisi yang ditimbulkan dari aktivitas ekonomi ekstraktif dan bahan bakar fosil,” tambah dia.

Baca juga: Pembangunan Ekonomi Hijau dan Rendah Karbon di Indonesia

Bhima melanjutkan, pihak swasta dapat berperan dalam pendanaan ekonomi hijau. Pelaku jasa perbankan dapat mengalihkan porsi kredit perbankan di sektor pertambangan, penggalian dan migas ke sektor industri berkelanjutan.

Sementara itu, perusahaan di pasar modal pun dapat mengoptimalkan dana publik di pasar modal untuk mendorong pembiayaan ekonomi hijau melalui penawaran saham perdana (initial public offering/IPO).

Hasil studi yang dilakukan CELIOS dan Greenpeace Indonesia ini pun memberikan sejumlah rekomendasi untuk berbagai kementerian dan instansi untuk dapat mengimplementasi transisi ke ekonomi hijau, diantaranya pembentukan APBN Hijau, memberikan paket kebijakan stimulus ekonomi hijau, serta implementasi loss and damage fund.

Baca juga: Memitigasi Resesi dengan Ekonomi Hijau, Begini Peran Sektor Perbankan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com