SELAMA lebih dari empat abad, terhitung dari sejak kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), negeri ini bertungkus lumus dalam model ekonomi ekstraktivisme.
Secara sederhana, ekstraktivisme merupakan pendekatan ekonomi yang menekankan eksploitasi sumber daya alam, dari minerba, migas, kehutanan, pertanian, hingga perikanan, untuk dijual dalam bentuk mentah ke pasar dunia (Gudynas, 2009).
Ekstraktivisme melahirkan dua kisah pahit. Pertama, arsitektur ekonomi kolonial yang menempatkan negara pinggiran (bekas jajahan) sebagai penyuplai bahan mentah bagi industri di negara maju. Ini dialami oleh Indonesia selama lebih dari empat abad.
Kedua, kisah kutukan sumber daya (resource curse), yang membuat negeri kaya raya ini hanya menggantungkan jantungnya pada ekspor komoditas, yang menyebabkan perlambatan industrialisasi, disfungsi politik akibat korupsi dan kapitalisme kroni, dan kepungan bencana alam akibat kerusakan lingkungan.
Namun, sejak 2020, ketika Presiden Joko Widodo mulai memberlakukan larangan ekspor bijih nikel, bangsa ini mulai merintis jalan baru: hilirisasi.
Pelan tapi pasti, bangsa ini mulai meninggalkan kisah pahit warisan kolonialisme dan kutukan sumber daya alam.
Bahkan, menjelang Pemilu 2024, tema hilirisasi menjadi wacana dominan. Terbukti, semua kandidat capres-cawapres mengusung agenda hilirisasi dengan segala variannya.
Pertanyaan besarnya, bisakah hilirisasi, seperti dijalankan oleh pemerintahan Jokowi hari ini, mematahkan kutukan ekstraktivisme? Bagaimana hilirisasi bisa membawa bangsa ini keluar dari kutukan sumber daya?
Tidak bisa dipungkiri, meski baru berjalan beberapa tahun, keuntungan dari hilirisasi sudah berlipat-ganda.
Kita bisa melihat pada hilirisasi nikel. Pada 2017, ekspor bijih nikel hanya menghasilkan 3 miliar dollar AS atau Rp 46,5 triliun. Namun, pada 2022, setelah hilirisasi baru berjalan dua tahun, nilai ekspor nikel sudah melambung ke angka 33 miliar dollar AS atau Rp 514,3 triliun.
Dampak lebih lanjut, peningkatan ekspor itu telah menciptakan surplus neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Walhasil, stabilitas makro dan nilai tukar rupiah terjaga.
Namun, apakah dengan begitu, hilirisasi telah mematahkan model ekonomi ekstraktivisme?
Pertama, ekstraktivisme adalah warisan dari kolonialisme sejak 500 tahun lampau. Karena itu, hilirisasi sejatinya adalah praktik dekolonialisasi, ketika pemanfaatan kekayaan alam tidak lagi melayani kebutuhan bahan baku maupun industrialisasi di negara kapitalis maju.
Kedua, hilirisasi harus menjadi tiang pancang untuk menopang industrialisasi. Dalam hal ini, produk hilirisasi seharusnya menyuplai kebutuhan bahan baku maupun bahan penolong bagi industri.
Sebagai contoh, hasil hilirisasi nikel harusnya mendukung industri baterai, industri percetakan, industri pesawat terbang, industri otomotif, industri persenjataan, untuk bangunan dan konstruksi, hingga industri peralatan rumah tangga (panci, sendok, garpu, dan pisau).