DEBAT cawapres yang digelar pada Minggu (21/1/2024) malam, cukup menyita perhatian publik. Beberapa isu keberlanjutan dan transisi energi dibahas seperti greenflation.
Namun, ada satu topik yang tampaknya luput atau memang sengaja tidak dibahas, terkait masa depan batu bara.
Kita tahu, pengendalian dan substitusi pemakaian batu bara adalah salah satu mandat terpenting transisi energi. Sayangnya, tak satupun cawapres, baik Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming, atau pun Mahfud MD, yang membuka perdebatan soal isu krusial batu bara.
Padahal, Indonesia sebagai raksasa Asia Tenggara yang kaya mineral, kian terjebak dalam dilema yang cukup rumit soal batu bara.
Di satu sisi, ekonomi akan terus berdenyut kencang berkat batu bara, dengan target produksi ambisius 710 juta ton tahun 2024, setelah lonjakan permintaan pada tahun sebelumnya.
Namun, di lain sisi, ambisi untuk segera merealisasikan transisi energi dan janji nol emisi pada 2060 juga bergaung kian keras.
Pemerintah bak penari ulung yang berusaha menyeimbangkan irama kontradiktif ini. Batu bara seperti sudah mendarah daging sebagai sumber energi murah bagi perekonomian Indonesia.
Indonesia kini dihadapkan pada tantangan mendesak: menyelaraskan industri batu bara dengan tren lingkungan dan energi global kontemporer.
Komitmen menuju energi bersih dan pengurangan emisi karbon kian menggema, dan Indonesia tak bisa lagi berpaling.
Dilema ini bagaikan pedang bermata dua. Batu bara, meski tak lagi seperti dulu, masih menjadi tulang punggung kelistrikan Indonesia. Industri baja dan kimia masih mengandalkan bahan bakar fosil ini.
Dan tak terlupakan, jutaan keluarga menggantungkan hidupnya pada sektor pertambangan dan PLTU batu bara.
Semuanya tak lepas dari kekuatan politik yang masih sangat bergantung pada batu bara. Tekanan politik internal juga cukup berpengaruh terhadap eksploitasi sumber daya fosil domestik kita.
Industri batu bara di Indonesia memiliki pengaruh yang kuat di parlemen, dan para politisi kerap kali membela kepentingan industri ini.
Semestinya, panggung debat bisa menjadi podium untuk menyuarakan isu krusial ini. Sebab, kesadaran mengenai dampak substansial batu bara terhadap lingkungan masih sangat minim, terutama terkait dengan isu perubahan iklim dan aspek strategis yang melekat padanya.