BELAKANGAN ini masyarakat kembali mengeluhkan harga tiket pesawat penerbangan domestik yang mahal. Bahkan, untuk rute tertentu harganya lebih mahal dibanding tiket penerbangan internasional.
Keluhan ini sudah berkali-kali terungkap, tetapi solusinya selalu nihil. Yang ada malah harga tiket melambung lagi.
Sebagai negara kepulauan, transportasi udara merupakan pilihan paling efektif di Indonesia. Coba kita bayangkan, jarak dari Sabang ke Merauke, Jakarta-Makassar, Jakarta-Balikpapan, Jakarta-Bali, atau Jakarta-Labuan Bajo pergi pulang.
Kalau mengikuti jalur jalan darat dan laut, maka perjalanan menuju ke rute-rute itu membutuhkan waktu selama beberapa pekan untuk sekali jalan. Sebaliknya menggunakan pesawat berbadan lebar hanya membutuhkan waktu penerbangan selama beberapa jam.
Menggunakan jasa penerbangan dapat memangkas waktu perjalanan yang signifikan. Penghematan waktu otomatis membuat penanganan urusan pun menjadi lebih efisien serta cepat tuntas.
Era reformasi yang lahir pada 1998 telah memberi kesempatan yang luas bagi swasta membangun perusahaan penerbangan. Maka, sejak itu, maskapai nasional lahir bagai cendawan tumbuh di musim hujan.
Ada puluhan perusahaan penerbangan yang beroperasi. Ada yang mengandalkan tiga pesawat, dan ada yang memiliki lima unit pesawat atau lebih. Untuk merebut penumpang, maskapai-maskapai baru berani memberlakukan tarif sangat murah.
Bayangkan, pada 2002, misalnya, harga tiket pesawat rute Jakarta-Surabaya yang biasanya rata-rata Rp 760.000, tetapi maskapai Indonesia Airlines (IA) menawarkan tarif Rp 390.000.
Pelita Air lebih murah lagi, yakni Rp 333.000. Harga ini setara tiket kereta api dengan rute yang sama.
Rute Jakarta-Batam yang biasanya Rp 850.000 per penumpang, tetapi Lion Air dan Jatayu Air hanya Rp 499.000. Pelita Air rute Surabaya-Makassar seharga Rp 333.000. Entah seperti apa penghitungannya, tetapi perusahaan penerbangan berlomba-lomba melakukan perang tarif, (Kompas, 20/5/2002).
Dampak positifnya, yakni penggunaan pesawat tidak lagi sebatas masyarakat kelas menengah ke atas melainkan semua lapisan sosial. Siapa pun bisa terbang.
Penerbangan pun menjadi urat nadi utama transportasi nasional. Kapal penumpang, kereta api dan angkutan bus kelimpungan menghadapi agresitivitas bisnis penerbangan komersial berjadwal.
Seiring perjalanan waktu, satu demi satu perusahaan penerbangan pun rontok. Mereka tidak sanggup lagi menghadapi persaingan ketat.
Perang tarif tiket merupakan salah satu pemicunya, sebab bisnis penerbangan tergolong risiko tinggi dan padat modal, tetapi potensi keuntungan yang minim.
Maskapai yang tetap eksis hingga saat ini hanya Garuda Indonesia Group (Garuda Indonesia dan Citilink), Air Asia, Sriwijaya Group (Sriwijaya dan NAM) serta Lion Group (Lion, Batik dan Wings).