Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ferdy Hasiman
Peneliti

Peneliti di Alpha Research Database. Menulis Buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara, Gramedia 2019. dan Monster Tambang, JPIC-OFM 2013.

Arif Mengolah Produk Ikutan Produk Tambang

Kompas.com - 19/02/2024, 16:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK 12 Januari 2014, pemerintah telah memerintahkan semua perusahaan tambang untuk melakukan program hilirisasi atau pengembangan biji tambang dalam pabrik smelter.

Hal itu tertuang dalam UU No 4/2009 tentang Mineral dan Pertambangan (Minerba) yang direvisi menjadi UU No.3 Tahun 2020 tentang Minerba.

UU Minerba mewajibkan semua perusahaan tambang membangun smelter agar memiliki mulitplier-effect bagi pembangunan.

Dengan pembangunan smelter, paradigma pertambangan kita sudah mengarah kepada proses industrialisasi, mengolah bahan tambang untuk menjadi komponen dasar industri otomotif, kabel dan manufaktur.

Pembangunan smelter dapat meningkatkan nilai tambah bahan tambang bagi pembangunan.

Sejak kebijakan hilirisasi, semua perusahaan tambang tak boleh lagi mengekspor bahan mentah ke luar. Semua Perusahaan tambang wajib membangun pabrik smelter dalam negeri.

Tak mengherankan jika sekarang banyak perusahaan tambang yang membangun smelter.

Di sektor nikel, sudah ada hampir 25 pabrik smelter yang dibangun merentang dari Sorowako (Milik PT Vale Indonesia), Morowali (IMIP) sampai Halmahera yang dimiliki Indonesia Wedabay Industrial.

Sementara di sektor tembaga, PT Freeport Indonesia telah membangun pabrik smelter berkapasitas di atas 1 juta matrik ton per tahun di Kawasan industi Manyar, Gresik, Jawa Timur dan smelter tembaga milik PT Amman Mineral Tbk di Sumbawa Barat dengan kapasitas di atas 900.000 metrik ton per tahun.

Semua itu ingin menunjukan bahwa paradigma industri tambang di Tanah Air sekarang sudah mengarah kepada proses hilirisasi dan pemurnian dalam negeri agar memberi nilai tambah bagi pembangunan.

Namun, kebijakan itu tak disertai dengan perencanaan matang dari pemerintah. Pemerintah hanya berpikir bahwa setelah perusahaan membangun smelter, kebijakan tuntas.

Seolah tak ada lagi produk ikutan bahan tambang yang dihasilkan setelah membangun smelter.

Kementerian Perindustrian dan Kementerian terkait tak memiliki desain kebijakan industri tambang yang matang agar semua olahan produk tambang bisa bermanfaat bagi pembangunan.

Produk ikutan

Angkat salah satu contoh produk ikutan barang tembang seperti tembaga. Saya mengambil contoh yang paling kongkret dari produk ikutan tembaga di pabrik smelter milik PT Smelthing, Gresik berkapasitas 300.000 ton.

Dari hasil olahan tembaga ternyata memiliki produk ikutan lainnya. PT Smelting misalnya, memproduksi sulfuric Acid (920.000 ton/tahun), Gypsum (35000 ton, untuk industri semen), Copper slag (655.000 ton untuk semen dan beton), Anode Slime (1.800 ton untuk pemurnian emas dan perak) dan Copper Telluride (50 ton, untuk semi-konduktor).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com