Jika smelter baru itu dibangun dengan kapasitas 1.000.000 ton per tahun, maka Indonesia mendapat untung besar dari investasi. Karena produk-produk itu akan membuka ruang bagi mekarnya proses industrialialisasi.
Begitupun pabrik smelter tembaga milik PT Amman Mineral di Sumbawa Barat dengan kapasitas di atas 900.000 matrik ton per tahun. Produk ikutannya akan menghasilkan sangat besar untuk pertumbuhan ekonomi daerah.
Angkatlah salah satu contoh produk ikutan pengolahan smelter tembaga, sulfuric Acid/Asam Sulfat yang sedang menjadi buah bibir dan perbincangan politik akhir-akhir ini karena salah satu calon wakil presiden salah mengucapkan pernyataan ke publik.
Asam sulfat adalah limbah B3 yang sangat diperlukan untuk proyek nickel HPAL (High Pressure Acid Leach) dan bahan dasar pupuk.
Untuk nickel HPAL, asam sulfat diperlukan untuk mengekstrak nikel dan cobalt dari laterite ore bodies. Seton nickel mengkonsumsi 25 ton asam suflat.
Karena asam sulfat merupakan limbah B3, maka pengelolaannya juga membutuhkan perlakuan khusus. Jika tak memiliki treatmen khusus, asam sulfat bisa menjadi racun dan berpotensi mencemari lingkungan sekitarnya.
Asam sulfat sifatnya seperti air keras, yaitu korosif, sehingga proses pengirimannya memerlukan kapal tanker dengan spesifikasi stanless steel 316L. Ini untuk keamaan.
Atas fakta di atas, penting bagi pemerintah untuk membuat desain peta jalan pengembangan pabrik smelter, pembangunan industri untuk menampung produk ikutan hasil pembangunan smelter nikel, tembaga atau bauksit.
Pemerintah juga wajib memerintahkan perusahaan-perusahaan yang membangun pabrik smelter untuk memanfaatkan produk ikutan dengan baik dan jangan sampai produk ikutan seperti asam sulfat mengotori lingkungan.
Produk asam sulfat juga harus bisa terserap ke dalam pasar domestik. Untuk hal itu, pemerintah harus sudah membuat desain kebijakan industrial.
Jika ingin dikatakan secara jujur, kondisi pasar saat ini adalah tantangan paling berat bagi para pelaku usaha di pabrik smelter.
Dari sisi logistik, pasar asam sulfat kita kalah bersaing dengan asam sulfat impor. Logistik impor asam sulfat dari luar negeri seperti Filipina, Korea Selatan, Tiongkok, dan Jepang lebih murah dibandingkan asam sulfat produk domestik.
Tak mengherankan produsen lebih suka membeli produk impor daripada hasil olahan domestik.
Untuk itu dibutuhkan tangan negara untuk mendesain kebijakan yang bisa menguntungkan investor domestik.
Padahal, asam sulfat produk domestik hanya akan mampu menyuplai 20 persen kebutuhan asam sulfat untuk industri domestik. Dengan demikian, sulit untuk kita bicara tentang ekspor.