Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Tengah Resesi Negara Maju, BI "Ramal" Perekonomian Global Membaik

Kompas.com - 21/02/2024, 18:40 WIB
Rully R. Ramli,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Indonesia (BI) merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia untuk periode tahun 2023 dan 2024. Proyeksi yang lebih positif dibuat BI di tengah fenomena resesi ekonomi sejumlah negara maju.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, berdasarkan "bacaan" terbaru bank sentral, pertumbuhan ekonomi global diproyeksi sebesar 3,1 persen pada 2023 dan 3 persen pada 2024. Angka-angka itu lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya, yakni sebesar 3 persen untuk 2023 dan 2,8 persen pada tahun ini.

"Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan lebih baik dari proyeksi semula di tengah ketidakpastian pasar keuangan yang masih tinggi," ujar dia, dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur BI, di Jakarta, Rabu (21/2/2024).

Baca juga: Sederet Tantangan Ekonomi Tahun 2024 Menurut Ekonom Bank Mandiri

Lebih lanjut Perry bilang, prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih positif itu ditopang oleh membaiknya perekonomian dua negara besar, yakni, Amerika Serikat dan India. Perbaikan itu selaras dengan tingkat konsumsi dan investasi yang lebih tinggi.

Sementara itu, sejumlah negara maju lain memang masih mengalami pelemahan ekonomi. Perry menyebutkan, perekonomian negara adidaya lain, China masih melemah.

"Serta kontraksi pertumbuhan ekonomi di Inggris dan Jepang yang telah terjadi dalam dua triwulan berturut-turut dapat menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi dunia," katanya.

Meskipun prospek perekonomian global membaik, Perry menjelaskan, eskalasi ketegangan geopolitik yang masih berlanjut juga dapat mengganggu rantai pasokan. Hal ini kemudian meningkatkan harga komoditas pangan dan energi, serta menahan laju penurunan inflasi global.

Perkembangan tersebut mengakibatkan ketidakpastian di pasar keuangan dunia masih tinggi. Suku bunga bank sentral AS, Fed Funds Rate (FFR), diprediksi baru mulai menurun pada semester II 2024, sejalan dengan inflasi AS yang masih tinggi.

Di sisi lain, imbal hasil atau yield obligasi AS kembali meningkat, sejalan dengan premi risiko jangka panjang (term-premia). Perkembangan tersebut menyebabkan menguatnya dollar AS secara global, menahan berlanjutnya aliran masuk modal asing, dan meningkatkan tekanan pelemahan nilai tukar di negara emerging market.

"Kondisi ini memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global tersebut, termasuk di Indonesia," ucap Perry.

Baca juga: Ini Penyebab Negara Maju Resesi Menurut Sri Mulyani

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com