Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wasiaturrahma
Guru Besar di FEB Universitas Airlangga

Pengamat Moneter dan Perbankan, Aktif menulis beberapa buku, Nara sumber di Radio dan Telivisi ,seminar nasional dan internasional juga sebagai peneliti

Mengapa Jepang Masuk Jurang Resesi?

Kompas.com - 21/02/2024, 11:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JEPANG yang pernah menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, melaporkan kontraksi selama dua kuartal berturut-turut.

Ekonomi turun 0,4 persen secara tahunan pada kuartal keempat IV-2023 setelah melaporkan kontraksi atau -3,3 persen pada kuartal ketiga kuartal III-2023.

Sepanjang 2023, PDB nominal Jepang tumbuh 5,7 persen dibandingkan tahun 2023. Ini sekitar 591,48 triliun yen atau setara dengan Rp 61.673 triliun.

PDB Jepang tahun 2023 tanpa disesuaikan dengan inflasi, hanya mencapai 4,21 triliun dollar AS berada di bawah Jerman yang berjumlah 4,46 triliun dollar AS.

Akibat hal tersebut, posisi Jepang tergeser oleh Jerman menjadi negara ekonomi terbesar keempat di dunia. Gambaran pertumbuhan yang mengerikan ini membuat semakin sulit bagi Bank of Japan untuk memperketat kebijakannya.

Salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap PDB Jepang adalah penurunan signifikan tingkat swasembada domestik. Hal yang membedakan Jepang dari Jerman secara signifikan adalah tingkat investasi langsung ke dalam yang sangat rendah.

Bahaya spekulasi ekonomi Jepang

Hal ini dimulai pada tahun 1980-an, ketika Jepang jatuh ke dalam cengkeraman mania spekulatif yang belum pernah terjadi sebelumnya, berakar pada saham dan real estate.

Easy money, berkat Bank of Japan menjaga suku bunga tetap rendah. Bank meningkatkan pinjaman tersebut hanya pada akhir masa booming.

Terdapat inovasi dan deregulasi keuangan, seiring dengan agresifnya perbankan beralih ke pinjaman real estate, suatu bidang yang berada di luar keahlian tradisional mereka.

Ada euforia irasional yang biasa terjadi, yaitu keyakinan bahwa harga hanya bisa naik lebih tinggi. Indeks pasar saham domestik, Nikkei, naik dari sekitar 10.000 menjadi hampir 40.000 dan harga real estate menunjukkan tren serupa.

Harga real estate residensial meningkat hampir dua kali lipat pada akhir tahun 1980-an, dan harga real estate komersial meningkat tiga kali lipat.

Pada puncak booming, tanah di bawah dan di sekitar Istana Kekaisaran Tokyo, yang total luasnya beberapa ratus hektare, diperkirakan memiliki nilai pasar yang setara dengan seluruh real estate di California.

Pasar menjadi stabil pada akhir 1989, dan ketika Bank of Japan mulai menaikkan suku bunga untuk mengakhiri spekulasi, gelembung tersebut pecah.

Setelah keruntuhan awal di pasar saham, perekonomian ambruk dalam gerakan lambat: harga saham terus merosot, begitu pula nilai tanah.

Tahun 1990-an, di Jepang mempunyai nama: “Ushinawareta Junen”, adalah Dekade yang Hilang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com