KENAIKAN harga beras tidak bisa dipungkiri memberikan dampak cukup luas bagi masyarakat.
Topik diskusi yang dibahas seringkali terkait biang kerok kenaikan harga beras. Namun, sebenarnya ada satu hal yang tidak kalah penting untuk ditinjau dan dibahas, yakni siapa sebenarnya yang paling terdampak kenaikan harga beras.
Dengan demikian, diharapkan para pemangku kepentingan dapat memahami secara komprehensif masalah ini, guna mendukung perumusan kebijakan efektif-efisien dan tepat sasaran akibat kenaikan harga beras.
Secara logika sederhana, kita mampu memahami bahwa masyarakat yang berada pada lapisan terbawah yang merasakan dampak dari kenaikan harga beras.
Penduduk yang secara teori ekonomi masih berfokus pada kebutuhan pokok bagaimana atau apa yang bisa dimakan untuk mampu bertahan hidup.
Tentunya jika harga dari kebutuhan komoditas pokok naik, dalam hal ini beras, maka akan menjadi isu besar mayoritas penduduk yang berada pada lapisan ini.
Dalam laporan Ringkasan Eksekutif Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia Maret 2023 yang dirilis BPS, disebutkan secara nominal nilai rata-rata pengeluaran penduduk pada kelompok 20 persen terbawah mengeluarkan sebesar Rp 66.051 per kapita/bulan untuk mengonsumsi komoditas padi-padian.
Nominal ini 33 persen lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang berada pada kelompok 20 persen teratas. Kelompok tersebut mengeluarkan sebesar Rp 98.963 per kapita/bulan untuk mengkonsumsi komoditas padi-padian.
Dilihat dari pangsa pengeluaran secara proporsinya, juga terlihat perbedaan cukup mencolok. Penduduk pada kelompok 20 persen terbawah harus mengalokasikan sebesar sekitar seperlima total pengeluaran makanan mereka hanya untuk membeli beras.
Dengan angka ini, maka terlihat adanya perbedaan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan kelompok penduduk 20 persen teratas. Penduduk 20 teratas hanya mengalokasikan kurang dari satu per sepuluh dari total pengeluaran makanan (7,40 persen) untuk membeli beras.
Membedah lebih dalam lagi menurut daerah perkotaan/perdesaan, ternyata penduduk lapisan terbawah di daerah perdesaan yang justru terdampak lebih parah jika dibandingkan dengan mereka di perkotaan.
Meskipun daerah perdesaan merupakan wilayah dengan mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian, justru kenaikan harga beras tidak serta menjadikan mereka otomatis sejahtera utamanya bagi petani kecil.
Secara statistik, tercatat penduduk yang dikategorikan sebagai penduduk miskin lebih dari separuhnya berada di perdesaan.
Data BPS menunjukkan pada Maret 2023, lebih dari separuh atau sebesar 54,68 persen penduduk miskin berada di perdesaan.
Hasil pendapatan mereka di pertanian dengan adanya kenaikan harga beras tidak serta merta menjadikan mereka mampu keluar dari kemiskinan menjadi petani sejahtera.