JAKARTA, KOMPAS.com - Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) menyatakan, kenaikan kurs dollar AS akhir-akhir ini membuat kondisi biaya operasional angkutan penyeberangan semakin membesar.
Kondisi ini akan mengakibatkan kesulitan menjalankan operasional sesuai dengan standarisasi keselamatan dan pelayanan kenyamanan sesuai dengan SPM (Standarisasi Pelayanan Minimum).
Pasalnya, kata Ketua Bidang Tarif dan Usaha Gapasdap Rahmatika, tarif angkutan penyeberangan ditentukan oleh pemerintah saat ini semakin tertinggal.
Baca juga: Lalu Lintas Penyeberangan Sumatera ke Jawa Relatif Landai
Menurutnya, hal ini akan membuat pengusaha angkutan penyeberangan semakit sulit untuk memenuhi standarisasi tersebut.
"Apalagi dengan adanya ketertinggalan tarif dan semakin menguatnya nilai kurs mata uang asing yang di mana sebagian besar biaya operasional kapal penyeberangan sangat dipengaruhi oleh kurs mata uang asing baik dari sparepart, bahan bakar dan komponen biaya lainnya," ujar Rahmatika dalam keterangannya, Sabtu (20/4/2024).
Menurut dia, saat ini, kondisi tarif angkutan penyeberangan telah mengalami kekurangan perhitungan tarif sebesar 31,8 persen mulai dari tiga tahun yang lalu sebesar di atas 40 persen.
"Ditambah lagi dengan kenaikan harga BBM dua tahun yang lalu yang tidak diakomodir dengan kenaikan tarif sesuai dengan yang sebenarnya waktu itu," ungkap Rahmatika.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Rencana Cadangan Penyeberangan Sumatera-Jawa
Selain itu, imbuhnya, pemerintah melakukan kenaikan tarif untuk angkutan penyeberangan secara bertahap dengan mencicil 15 persen pada 2021 dan tahap kedua sebesar 5 persen pada 2022, sehingga tarif masih tertinggal jauh di atas 30 persen.
"Maka di tiga tahun terakhir ini beberapa anggota Gapasdap mengalami kebangkrutan dan diganti dengan operator baru lainnya," ucap Rahmatika.
Pemerintah seyogyanya tidak menutup mata dengan kondisi yang ada di angkutan penyebrangan, imbuhnya.