Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Industri Tembakau Juga Alami Disrupsi, Apa Bukti dan Solusinya?

SINGAPURA, KOMPAS.com – Disrupsi tidak hanya terjadi di bidang teknologi. Sejumlah industri pun turut mengalami disrupsi sebagai hasil munculnya inovasi dan majunya perkembangan teknologi.

Sebut saja industri ritel, konsumer, bahkan hingga pos atau logistik. Nah, disrupsi pun terjadi di industri tembakau.

Apa disrupsi yang dialami industri tembakau? Menurut Paul Riley, President East Asia & Australia Region Philip Morris International, kondisi yang terjadi di industri tembakau adalah tak ubahnya mendisrupsi diri sendiri.

Maksudnya, industri tembakau berlomba-lomba menciptakan inovasi disruptif untuk menurunkan konsumsi rokok yang nyatanya berbahaya bagi kesehatan.

Secara umum Riley menggambarkan, apabila bisnis tidak berpikir tentang bagaimana terdisrupsi atau kesempatan mendisrupsi orang lain, maka akan ada tantangan yang menghadang.

Disrupsi, sebut dia, nyata terlihat di Asia, misalnya industri ride-hailing dan sistem pembayaran digital yang masif.

“Jadi konteksnya adalah apa artinya disrupsi untuk industri tembakau,” jelas Riley ketika berbincang dengan Kompas.com di Singapura, Kamis (19/9/2019).

Riley mengungkapkan, Philip Morris International, terkait kondisi konsumen saat ini, berfokus pada tiga hal yang menjadi kunci.

Pertama, jika konsumen tidak merokok, maka jangan mencoba untuk merokok. Kedua, jika konsumen merokok, maka ia harus berhenti.

Ketiga, jika konsumen tidak berhenti merokok, maka ia harus mengganti rokok dengan perangkat lainnya.

“Mengganti itu adalah di mana inovasi disruptif hadir. Mengganti (rokok) dengan apa? Ini terkait peluncuran produk yang memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan rokok,” terang Riley.

Terbukti bahwa merokok merupakan hal yang membahayakan bagi kesehatan. Riley menjelaskan, ketika seseorang membakar rokok, maka akan ikut terbakar pula sekira 6.000 zat berbahaya.

Namun, kebiasaan untuk merokok pun nyatanya sulit untuk dihentikan. Bahkan, sebuah studi yang dilakukan Philip Morris menemukan bahwa 9 dari 10 orang terus lanjut merokok.

Oleh karena itu, imbuh Riley, pihaknya melakukan riset dan pengembangan selama bertahun-tahun guna menghadirkan produk pengganti rokok yang memiliki risiko kesehatan lebih rendah.

“Bertahun-tahun kami riset, banyak mengeluarkan investasi, kami dapat mengembangkan produk yang dapat menurunkan (risiko kesehatan) 90-95 persen dengan cara memanaskan tembakaunya,” ucap Riley.

Produk yang dimaksud adalah rokok elektrik bernama IQOS. Dengan IQOS, tembakau tidak dibakar, melainkan dipanaskan dalam suhu 350 derajat Celcius.

Seperti kata Riley, membakar tembakau adalah masalah, namun memanaskannya adalah solusi.

“Kami menghabiskan 10 tahun pengembangan sebelum akhirnya diluncurkan di Jepang pada 2015,” ujarnya.

Riley menyebut, di beberapa negara IQOS secara signifikan menurunkan jumlah perokok. Selain itu, produk ini sudah memperoleh persetujuan dari Food and Drug Administration (FDA), BPOM-nya Amerika Serikat.

Di Jepang saja, 50 persen produk yang dijual Philip Morris International adalah IQOS.
Ada pula sejumlah negara di mana IQOS ampuh menekan jumlah perokok, semisal Malaysia, Korea Selatan, dan Selandia Baru.

Namun, ada pula beberapa negara yang masih resisten dengan kehadiran IQOS lantaran persoalan regulasi, ambil contoh Singapura.

Terkait hal ini, Riley mengaku pihaknya terus berupaya memperkenalkan produk alternatif ini.

https://money.kompas.com/read/2019/09/20/092125026/industri-tembakau-juga-alami-disrupsi-apa-bukti-dan-solusinya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke