Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

“Mainan” Bernama "Dwelling Time"

Sebagaimana biasa, sejurus kemudian muncullah berbagai pendapat dari stakeholder kemaritiman mengomentari masalah itu. Ada beberapa pendapat terkait tingginya dwelling time di pelabuhan terbesar di Indonesia tersebut.

Kelompok pertama menyebut tingginya aktivitas ekspor-impor sebagai faktor pemicunya. Ada pun yang kedua menilai DT tinggi disumbang oleh libur panjang Idul Fitri selama Mei lalu, sementara kenaikan indikator tersebut pada bulan berikutnya (Juni) disebabkan oleh gangguan jadwal kapal yang terjadi di dunia internasional.

Tingginya angka dwelling time yang menjadi buah bibir komunitas kemaritiman dalam negeri saat ini memang terjadi dalam dua bulan terakhir dan lamanya sudah mendekati tiga hari.

Last but not least, kenaikan dwelling time disebabkan pula oleh penerapan single truck identification document (STID) di Tanjung Priok. Maksudnya begini. Program ini membuat pengelola depo empty container impor tidak segera mengambil peti kemas kosong karena armada truk yang dimilikinya tidak punya STID. Bertumpuklah peti kemas di terminal akhirnya.

Masalah DT di pelabuhan-pelabuhan Indonesia muncul setelah Presiden Joko Widodo mengunjungi Pelabuhan Tanjung Priok pada 2016. Dalam kunjungannya, Presiden mengaku kecewa dengan dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok yang bisa mencapai 5,5 sampai 7 hari.

Presiden meminta kondisi itu dipangkas menjadi minimal 3,5 hari saja. Sejak saat itu hingga kini, ada saja, tepatnya dicari-dicari, masalah seputar DT. Untuk memelototinya, pemerintah memasukkan DT ke dalam skema Indonesia National Single Window (INSW).

Tak mau ketinggalan, Kementerian Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri (PM) Nomor 116 Tahun 2016 tentang Pemindahan Barang Yang Melawati Batas Waktu Penumpukan (long stay) di pelabuhan utama, yaitu Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, dan Makassar.

Pada 2017, aturan itu direvisi dengan PM Nomor 25 Tahun 2017 tetapi  intinya lebih-kurang sama dengan aturan sebelumnya. INSW dan PM bersatu padu menjadi ujung tombak kembar mengawal mandat dari Jokowi; yang pertama berperan dalam menyediakan early warning dan yang kedua menjadi pedang pemutus di lapangan bila DT berulah.

Di sisi lain, media masuk ke urusan dwelling time dengan memberitakannya begitu saja tanpa berupaya mendudukkannya dalam konteks yang tepat. Akhirnya muncul anggapan atau persepsi di khalayak bahwa jika DT tinggi maka berabelah urusan di pelabuhan atau terminal.

Pertanyaannya kini, bila dwelling time tinggi, apakah aktivitas ekspor-impor mengalami kiamat? Aktivitas di terminal peti kemas akan terhenti sama sekali? Jawabannya jelas tidak. Loh, kok bisa seperti itu? Tentu saja bisa dan tulisan ini mencoba menyajikan perspektif yang relatif jernih.

Akal-akalan demi cari untung

Dwelling time sebetulnya bukanlah masalah sama sekali bagi pengelola terminal peti kemas. Hal itu lebih cenderung bersifat politis dibanding teknis/bisnis.

Disebut bersifat politis karena isu ini diciptakan untuk memberikan kesempatan berusaha kepada pelaku usaha depo atau lebih dikenal dengan istilah lini 2. Sejak Presiden Jokowi menyasar dwelling time, tak lama sesudahnya bermunculanlah depo-depo lini 2 di luar pelabuhan, khususnya, Tanjung Priok.

Tetapi, harap dicatat, bisnis depo sudah lama ada di sana. Mereka itu kerjanya menampung peti kemas yang “ditendang” dari container yard (CY) karena sudah hampir melewati batas waktu yang ditentukan oleh regulator, dalam hal ini tiga hari seperti tercantum dalam PM No. 116/2016.

Biasanya, pemindahan ini diawali oleh pengelola terminal dengan melaporkan kepada regulator, Otoritas Pelabuhan/Bea Cukai, bahwa terdapat sejumlah peti kemas yang long stay di CY. Setelah itu, peti kemas tadi dipindah ke lini 2 yang biayanya dibebankan sepenuhnya kepada pemilik peti kemas.

Biaya yang muncul dari aktivitas di atas (dikenal dalam khazanah kepelabuhan sebagai overbrengen) mencakup handling, penumpukan, lift on-lift off atau LO-LO di terminal, sewa truk, LOLO di depo lini 2, dll.

Menariknya, biaya-biaya yang ditagih oleh pengelola terminal kepada pemilik peti kemas long stay diatur dengan ketat oleh regulasi. Jujur, saya tidak tahu diatur dengan apa biaya-biaya yang muncul di lini 2.

Setelah peti kemas long stay itu keluar dari CY, dengan sendirinya angka dwelling time terjaga tetap stabil. Bahwa proses dokumennya belum selesai, itu soal lain. Yang penting tidak ada peti kemas ngendon di lapangan penumpukan. Bukankah ini akal-akalan namanya?

Dari sisi teknis atau bisnis terminal peti kemas, menumpuk peti kemas setelah dibongkar dari atas kapal ke container yard merupakan hal yang biasa. Pendapatan terminal salah satunya ya dari penumpukan.

Sepertinya hanya di Indonesia saja praktik itu dilarang. (Pasal 1 Ayat 3 PM No. 116/2016 menyebutkan lapangan penumpukan terminal peti kemas atau lini 1 sebagaimana dimaksud ayat 1 bukan merupakan tempat penimbunan barang tetapi sebagai area transit untuk menunggu pemuatan atau pengeluarannya.)

Mantan petinggi salah satu operator pelabuhan pernah mengungkapkan, pendapatan perusahaannya terdiri dari 50 persen didapat dari aktivitas bongkar-muat dan 50 persen lainnya dari penumpukan. Penumpukan di sini meliputi semua jenis kargo, termasuk peti kemas.

Dengan adanya kebijakan nasional yang melarang penumpukan di CY demi mengejar angka dwelling time yang kecil, pendapatan dari usaha penumpukan (peti kemas) turun drastis, tinggal 20 persen saja.

Ibarat kata pepatah “nasi sudah menjadi bubur”, kini urusan dwelling time sudah menjadi bagian keseharian bisnis terminal peti kemas. Sementara itu terminal-terminal peti kemas bermunculan di berbagai tempat di dalam negeri.

Overcapacity akhirnya tak terhindarkan. Yard occupancy ratio (YOR) tergolong rendah jika tidak hendak disebut sepi. Itu artinya, CY lebih banyak kosongnya dari pada terisinya.

Dalam catatan saya, saat ini total kapasitas terminal peti kemas di pulau Jawa sekitar 13.863.342 TEU. Sementara total throughput nasional sekitar 10 juta TEU saja.

Di atas fenomena yang ada tadi, muncul pihak yang menangguk keuntungan. Mereka bukan tidak boleh berbisnis di pelabuhan. Sektor ini terbuka bagi siapa saja. Hanya saja, demi kepentingan mereka ini, dibuatlah akal-akalan yang merugikan pengelola terminal peti kemas atas nama dwelling time.

Untuk diketahui, operator terminal menggelontorkan investasi hingga triliunan untuk bisa berbisnis sementara mereka tidak sebanyak itu. Hal ini jelas tidak adil. Di atas itu semua, akal-akalan tadi menciptakan biaya logistik yang tinggi. Dwelling time boleh rendah, tetapi biaya logistik tetap saja tidak turun. Tragis.

https://money.kompas.com/read/2022/08/09/173201626/mainan-bernama-dwelling-time

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke