Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Merek Terkenal dalam Kasus Starbucks vs "Starbucks"

Tahun 2019, pemerintah melalui pejabat pabean menemukan 858.240 buah ballpoint palsu dengan merek Standardpen di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

Tahun 2021, pemerintah kembali menggagalkan 288.000 buah ballpoint palsu dengan merek yang sama sebelum masuk ke jalur perdagangan.

Sementara tahun 2020, pemerintah mendapati 911.280 buah pisau cukur palsu dengan merek Gillete di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.

Kedua merek itu boleh dikatakan sudah dikenal luas masyarakat di Indonesia.

Modus lain dalam bentuk pendomplengan merek terkenal juga kerap terjadi. Teranyar, pemilik merek Starbucks harus menempuh jalur hukum untuk memperoleh status sebagai merek terkenal melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 836 K/Pdt.Sus-HKI/2022 tanggal 18 Mei 2022.

Langkah ini diambil karena adanya potensi pemboncengan terhadap keterkenalan merek Starbucks oleh salah satu perusahaan lokal di Indonesia.

Kriteria merek terkenal

Dalam kacamata hak kekayaan intelektual (HKI), sebuah merek harus memenuhi kualifikasi tertentu untuk diakui sebagai merek terkenal.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek) memang tidak mendefenisikan langsung apa itu merek terkenal.

Namun, Pasal 21 UU Merek mengatur bahwa permohonan merek oleh pihak lain dapat ditolak apabila merek yang dimohonkan memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal, baik itu untuk barang dan/atau jasa sejenis maupun tidak sejenis, yang memenuhi persayaratan tertentu.

Persyaratan tertentu yang dimaksud diejawantahkan kembali pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek.

Pada Pasal 18 diuraikan kriteria merek terkenal dengan mempertimbangkan sembilan hal, yakni:

  1. tingkat pengetahuan atau pengakuan masyarakat terhadap merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan sebagai merek terkenal;
  2. volume penjualan barang dan/atau jasa dan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan merek tersebut oleh pemiliknya;
  3. pangsa pasar yang dikuasai oleh merek tersebut dalam hubungannya dengan peredaran barang dan/atau jasa di masyarakat;
  4. jangkauan daerah penggunaan merek;
  5. jangka waktu penggunaan merek;
  6. intensitas dan promosi merek termasuk nilai investasi yang digunakan untuk promosi tersebut;
  7. pendaftaran merek atau permohonan pendaftaran merek di negara lain;
  8. tingkat keberhasilan penegakan hukum di bidang merek khususnya mengenai pengakuan merek tersebut sebagai merek terkenal oleh lembaga yang berwenang, dan;
  9. nilai yang melekat pada merek karena reputasi dan jaminan kualitas barang dan/atau jasa yang dilindungi oleh merek tersebut.

Dalam kasus Starbucks, pemilik berhasil meyakinkan hakim pada tingkat kasasi bahwa merek kopi itu terbukti sudah mendaftarkan mereknya di berbagai negara, jangkauan daerah penggunaan merek, serta promosi yang gencar dan besar-besaran.

Gugatan oleh Starbucks Corporation yang bermarkas di Amerika Serikat itu berawal dari adanya merek terdaftar di Indonesia yang menggunakan kata “Starbucks” sebagai merek untuk jenis barang tembakau.

Starbucks menilai keterkenalan mereknya nyata-nyata telah diboncengi.

Majelis hakim dalam putusannya berpendapat terdapat persamaan pada pokoknya antara susunan, jumlah huruf, kesamaan bunyi dan ucapan antara merek Starbucks milik Starbucks Corporation dengan merek terdaftar “Starbucks” milik si perusahaan lokal.

Meskipun berbeda jenis produk yang diperdagangkan, hakim menganggap perbuatan tersebut patut diduga mengandung niat untuk meniru, menjilpak, atau mengikuti merek pihak lain (Starbucks) demi kepentingan usahanya yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.

Ekslusifitas merek terkenal

Hak ekslusif diberikan negara selama jangka waktu tertentu untuk menggunakan sendiri mereknya atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Dalam kasus Starbucks, pemilik merek terkenal juga dapat mengajukan gugatan pembatalan terhadap merek terdaftar pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis maupun tidak sejenis dengan persyaratan tertentu.

Pilihan lain juga dapat mengajukan gugatan penghentian semua perbuatan aktifitas perdagangan barang dan/atau jasa yang berkaitan dengan penggunaan merek terkenal secara tanpa hak.

Gugatan ini dilakukan guna mencegah atau menghentikan kerugian yang lebih besar terhadap pemilik merek terkenal baik dari sisi reputasi maupun komersialisasi.

Pemilik merek juga dapat melaporkan dugaan pelanggaran kepada penyidik kepolisian atau pejabat penyidik pengawai negeri sipil di bawah naungan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.

Menurut UU Merek, ancaman hukuman terhadap setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan merek yang sama keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain dipidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp 2 Miliar.

Sementara, apabila mengandung unsur persamaan pada pokoknya dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp 2 Miliar.

Selanjutnya, apabila jenis barang yang diperdagangkan mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup, hingga kematian manusia dapat dipidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp 5 Miliar.

Terhadap pihak lain yang memperdagangkan barang, jasa dan/atau produk yang patut diduga hasil pelanggaran merek diancam pidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau denda Rp 200 Juta.

Para pelaku usaha seharusnya sadar akan konsekuensi serius dari setiap perbuatan meniru, memalsukan, menjiplak, mendompleng atau memboncengi keterkenalan suatu merek terdaftar.

Sinergitas dan kesadaran publik

Sinergitas antarlembaga pemerintah dalam “memerangi” praktik pelanggaran HKI harus berbanding lurus dengan tingkat kesadaran publik.

Dalam konteks perdata, pemilik merek terkenal dapat melakukan gugatan ganti rugi, gugatan penghentian aktifitas perdagangan, hingga gugatan pembatalan melalui Pengadilan Niaga.

Sementara dalam konteks pidana, pemilik merek terkenal berdasarkan delik aduan dapat melaporkan dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum.

Pembuat undang-undang juga memberikan ruang kepada pemilik untuk menempuh alternatif penyelesaian sengketa melalui mediasi untuk mencapai “win-win solution” guna memulihkan keadaan pemilik selaku korban.

Dengan demikian, diharapkan pelaku usaha dapat menciptakan persaingan usaha yang sehat dengan tetap menghormati HKI pihak lain!

https://money.kompas.com/read/2022/09/13/120325626/mengenal-merek-terkenal-dalam-kasus-starbucks-vs-starbucks

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke