Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Nikel, WTO, dan "Groundbreaking" Smelter

Padahal, kebijakan larangan ekspor mineral adalah perintah Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020, tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Dengan perintah UU Minerba, semua perusahaan tambang tak diperkenankan mengekspor mineral mentah karena merugikan negara.

Sebaliknya, perusahaan tambang wajib membangun pabrik smelter dalam negeri agar memberikan efek pelipatan bagi pembangunan nasional. Namun, dengan kemenangan gugatan negara-negara Eropa di WTO itu, kebijakan hilirisasi mineral berpotensi batal, jika pemerintah tak kuat menahan tekanan WTO.

Keputusan WTO justru menjadi kabar buruk bagi industri nikel di Tanah Air, karena membuka ruang bagi penambang untuk mengekspor biji nikel lagi.

Kedua, Produsen nikel terbesar di tanah air, PT Vale Indonesia Tbk (Vale) telah melakukan groundbreaking smelter High-Pressure Acid Leach (HPAL) senilai Rp 67,5 triliun di Pomala, Sulawesi Tenggara pada 27, November 2022. Proyek ini termasuk terbesar di dunia, karena kapasitas produksinya per tahun mencapai 120.000 matrik ton.

Proyek itu juga sangat strategis bagi Indonesia, karena proyek HPAL menghasilkan litium untuk membangun ekosistem kendaraan listrik. Proyek Vale ini bisa saling mengisi kekurangan dari proyek yang akan dibangun Indonesia Bateray Corporation (IBC) yang berencana membangun baterai untuk kendraan listrik.

IBC adalah perusahaan patungan antara perusahaan BUMN, Pertamina (Persero), PLN (Persero), MIND ID, dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Perusahaan-perusahaan tambang BUMN memang memiliki nikel kelas satu (nickle sulfate), kobalt, dan tembaga sebagai material dasar pembangunan baterai mobil listrik.

Namun, perusahaan tambang BUMN tak memiliki litium. Maka, pembangunan pabrik HPAL Vale di Pomala bisa saling mengisi dengan proyek IBC, sehingga pembangunan ekosistem kendaraan listrik berjalan lancar.

Gugatan pelarangan ekspor nikel oleh negara-negara Eropa memang masuk akal, karena Indonesia memiliki posisi tawar paling besar di pasar nikel dunia. Berdasarkan data Booklet Nickle (2021), Indonesia memiliki 72 juta ton cadangan nikel dari 139 juta ton nikel dunia atau berkontribusi 52 persen terhadap nikel dunia, jauh di atas Australia (15 persen), Brasil (8 persen) dan Rusia (5 persen).

Itu artinya, Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku nikel dunia dan memiliki posisi tawar dalam pengembangan kendaraan listrik (nikel kelas 1/nikel sulfat) global dan pembangunan pabrik stainless steel (nikel kelas 2). Jadi dunia membutuhkan nikel.

Begitupun negara-negara Eropa yang mulai gencar mendorong pembangunan kendaraan listrik untuk meninggalkan energi fosil (bahan bakar minyak/BBM). Ketika, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan pelarangan ekspor nikel, negara-negara Eropa dan negara-negara maju lainnya kebakaran jenggot karena boleh jadi kebijakan besar pengembangan kendaraan listrik mereka tak berjalan.

Selain itu, negara-negara Eropa tak ingin Indonesia memainkan posisi tawar di pasar nikel dunia. Langkah satu-satunya adalah mengguggat ke WTO, karena Indonesia termasuk negara anggota yang harus ikut aturan main perdagangan global.

Lantas apakah Indonesia harus patuh pada keputusan WTO dan membuka kembali keran ekspor nikel dan membuat tata niaga nikel kita menjadi kacau kembali?

Ekonom Joseph Stiglitz dalam bukunya Globalization and Its Discontets (2001) mengatakan, justru negara-negara maju kerap melanggar aturan lembaga-lembaga global. Di mana-mana, negara-negara maju justru memproteksi produk-produk mereka yang membuat harga menjadi timpang.

Berkaca pada hal itu, saya kira, pemerintah tak perlu tunduk pada aturan main WTO yang merugikan kepentingan ekonomi nasional kita. Kebijakan hilirisasi atau perintah bagi perusahaan tambang untuk membangun pabrik smelter tetap berjalan karena itu adalah amanat konstitusi. Perlawannya tak perlu dilakukan secara terbuka. Cukup lakukan counter kebijakan saja.

Hal itu sudah dilakukan Vale Indonesia. Meskipun WTO mengabulkan gugatan negara-negara Eropa agar Indonesia tak melarang ekspor, Vale tetap konsisten dengan kebijakan hilirisasi tambang yang diterapakan sejak beroperasi di Indonesia.

Groundbreaking pembangunan proyek HPAL di Pomala adalah pukulan balik bagi keputusan WTO bahwa produsen-produsen nikel Indonesia ingin membantu pemerintah untuk konsisten menerapkan kebijakan hilirisasi. Keputusan WTO tak serta-merta membuat Indonesia harus membuka keran ekspor nikel, karena sudah banyak produsen-produsen nikel besar yang sudah membangun pabrik smelter sejak kebijakan hilirisasi diterapkan.

Vale bukan hanya membangun pabrik HPAL di Pomala saja. Perusahaan itu  juga akan membangun pabrik smelter nickle pig iron (NPI) di Morowali, Sulawesi Tengah berkapasitas 74.000 matrik ton dengan nilai investasi sebesar 2,1 miliar dolar. Selain itu, Vale akan mengembangkan proyek HPAL juga di Sorowako dengan nilai investasi sebesar 2 miliar dolar dan kapasitas produksi sebesar 80.000 metrik ton.

Sejak beroperasi di Tanah Air tahun 1973, Vale memang telah membangun pabrik smelter nickle matte berkapasitas di atas 62.000 matrik ton. Ini komitmen perusahaan untuk membangun sistem pertambangan yang baik, tidak ekstratif dan memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup.

Sebetulnya bukan hanya Vale yang sudah membangun pabrik smelter. Perusahana tambang milik negara, PT Aneka Tambang Tbk juga telah membangun pabrik smelter feronikel berkapasitas 27.000 matrik ton di Pomala, Sulawesi Tengah.

Dalam waktu tak lama lagi, ANTM akan mengoperasikan pabrik smelter feronikel di Halmahera Timur berkapasitas 13.000 matrik ton.

Selain ANTM, ada Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang telah membangun pabrik smelter feronikel berkapasitas di atas 1 juta ton per tahun.

Masih banyak lagi perusahaan tambang nikel yang sudah membangun pabrik smelter di Tanah Air. Per tahun 2022, sudah ada 24 pabrik smelter nikel beroperasi di tanah air. Mayoritas tersebar mulai dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara sampai Halmahera, Muluku.

Hal ini mau menunjukan bahwa sudah banyak perusahaan yang berkomitmen membangun proyek hilirisasi nikel. Jadi, tak perlu takut dengan keputusan WTO yang menerima gugatan negara-negara Eropa terkait pelarangan ekspor nikel di tanah. Keputusan WTO tak perlu dilawan secara frontal oleh pemerintah Indonesia. Cukup meminta komitmen produsen-produsen nikel membangun pabrik nikel di Tanah Air agar membangun industri hilir tambang guna memberi nilai tambah bagi pembangunan.

Pembangunan tambang di negeri ini harus lebih maju, meninggalkan paradigma tambang ekstraktif (menjual hasil tambang dalam bentuk mentah) menuju hilirisasi agar bangsa ini menjadi bangsa maju secara industrial.

Semoga masih ada perusahaan tambang nikel seperti Vale atau Antam yang akan membangun pabrik smelter nikel di Tanah Air, meskipun sudah ada keputusan WTO terkait pelarangan ekspor biji nikel.

https://money.kompas.com/read/2022/12/10/070000226/nikel-wto-dan-groundbreaking-smelter

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke