Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Arah Strategis Pertumbuhan Ekonomi

Bagi Krugman ketika itu, keajaiban Asia via pertumbuhan ekonomi mengesankan dari negara-negara industri baru, jika tak benar-benar meniru Jepang, hanyalah pertumbuhan yang "menunggu untuk tidak tumbuh."

Krugman mencoba membandingkan pertumbuhan mengesankan di negara-negara industri baru Asia era 1980-1990-an dengan masa-masa awal Uni Soviet, yang tumbuh sangat progresif di fase awal lalu berakhir tragis.

Pertumbuhan di negara industri baru Asia akhir 1980-an dan 1990-an, layaknya Uni Soviet, adalah pertumbuhan yang dibangun di atas upaya mobilisasi besar-besaran "input," sehingga secara rasional akan memberikan dorongan kepada "output."

Namun, kata Krugman, negara industri baru Asia bermasalah dengan institusi dan struktur ekonomi yang tidak demokratis, sehingga sulit untuk mendapatkan efisiensi dan mendorong teknologisasi selama bertentangan dengan kepentingan para diktator yang berkuasa di negara-negara Asia.

Uni Soviet berhasil memobilisasi modal, barang modal, dan tenaga kerja di dua dekade awal pascaperang dunia kedua.

Namun karena institusi dan struktur ekonomi politik yang korup dan monolitik, Uni Soviet gagal memperbaiki efisiensi ekonominya yang berakibat pada perlambatan pertumbuhan secara bertahap.

Sementara Jepang pascakekalahan, berhasil memobilisasi berbagai sumber daya sembari melakukan terobosan-terobosan managerial dan teknologikal, yang mendorong input tidak saja menjadi sangat produktif, tapi juga dikelola dengan sangat kreatif.

Input besar yang digelontorkan ke dalam sistem ekonomi disambut dengan kreatifitas teknologikal dan efisensi managerial, lalu menghasilkan "keberlanjutan" yang nafasnya lebih panjang dibanding Uni Soviet.

Walhasil, Jepang berhasil mencapai pendapatan perkapita sekira 80 persen dibanding Amerika pada era awal 1990-an sebelum dihadang resesi dan stagnasi.

Layaknya Jepang di era Meiji yang berhasil menyejajarkan diri dengan negara-negara industri di Eropa barat dan Amerika Utara sebelum perang dunia pertama, Jepang pascaperang dunia kedua menorehkan raihan yang sama dengan duduk sejajar bersama negara-negara maju di dalam komunitas G7 dan OECD, satu-satunya dari Asia tahun 1990-an.

Namun, negara industri baru Asia seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Indonesia, terus memobilisasi input dalam lingkungan yang otokratik-monolitik dengan managemen yang sangat pro-diktator, pada waktunya akan berhenti tumbuh progresif ketika negara tak mampu lagi memobilisasi berbagai sumber daya untuk digelontorkan sebagai "input" ekonomi.

Tak butuh waktu lama asumsi dari Paul Krugman tersebut berbuah fakta. Tiga tahun kemudian, 1997, krisis Asia membuktikan itu. Tata kelola yang otokratik menghasilkan managemen ekonomi yang dipenuhi praktik KKN.

Walhasil, krisis mata uang yang bermula di Thailand berujung pada tumpukan utang dari para pengusaha yang notabene adalah kroni dan keluarga dari penguasa.

Devaluasi Yen sebelum Plaza Accord 1985 membuahkan utang murah dari negeri Sakura yang dilahap oleh konglomerasi-konglomerasi rekanan penguasa.

Namun pembalikan nilai tukar Yen pasca-1985 sampai 1996 menjerumuskan utang-utang tersebut ke dalam lubang yang lebih dalam, lalu rumah managemen ekonomi nasional itu kolaps seketika.

Bangunan kertas itu harus diselamatkan dengan rangka bangunan baru yang berlandaskan likuiditas talangan dari negara.

Korea Selatan dan Taiwan, yang sejak semula cukup serius menjiblak gaya developmental Jepang dan sejak 1980 mulai beralih ke ekonomi politik demokratis pelan-pelan bisa selamat.

Sementara Indonesia, Malaysia, Pilipina, Singapura, dan Thailand terjebak di dalam komplikasi struktural yang akut, yang sampai hari ini masih sulit menorehkan kembali angka-angka besar pertumbuhan ekonomi tahunan layaknya tahun 1980-an.

Singapura dan Hong Kong masih beruntung karena berstatus sebagai negara pelabuhan dengan jumlah penduduk yang kecil, taraf hidup tinggi sudah dicapai walaupun gerak-gerik ekonominya tidak lagi selincah dulu.

Indonesia, pasca-Orde Baru, mengubah arah nyaris 360 derajat, dengan meninggalkan gaya developmental setengah hati Soeharto menuju pendekatan neoklasikal sepenuh hati.

Diawali dengan supervisi IMF dan para teknokrat neoklasikal, Indonesia dipaksa tunduk pada aturan main penyesuaian struktural dengan disiplin fiskal kelas dewa.

Namun bukan untuk kemaslahatan rakyat banyak, melainkan untuk meyakinan para donor dan pemberi pinjaman bahwa Indonesia masih menjadi rentetan pulau-pulau yang layak diutangi.

Walhasil, kini Indonesia hanya butuh angka raihan ekonomi yang baik dengan tingkat inflasi yang moderat bersamaan dengan pertumbuhan penerimaan negara via berbagai cara, agar rating surat utang negara tetap bercokol di ranah "layak" dan "positif."

Perkara apakah industri nasional dihajar produk-produk manufaktur dari luar atau para petani di pedesaan dipojokan oleh komoditas impor berharga miring sudah bukan perkara penting lagi bagi pemerintah.

Dan memasuki era Jokowi, Indonesia dibawa ke ekosistem ekonomi hibrida di mana secara fiskal pemerintah berjuang habis-habis untuk berbelanja infrastruktur, tapi secara makro masih dikelola dengan gaya neoklasikal.

Artinya, proyek-proyek infrastruktur hanyalah instrumen untuk mengamankan angka raihan pertumbuhan ekonomi agar tidak makin melemah, dengan inflasi rendah via rekayasa supply (import), terutama sejak era "commodities boom" mulai berakhir dan pemerintahan yang baru kehilangan akal menemukan sumber pertumbuhan baru kecuali infrastruktur.

Pemerintah tidak lagi mencoba berkiblat pada pengalaman Jepang, Korea Selatan, Taiwan, atau sekarang China, yang mengintegrasikan kebijakan infrastrukturnya tidak saja untuk pertumbuhan ekonomi, tapi juga untuk mengokohkan daya saing industri nasional dan menggairahkann sektor pertanian dengan disiplin ekspor tingkat tinggi.

Sampai sekarang pun, kita kian hari dibuat terlena dengan raihan pertumbuhan ekonomi yang secara komparatif digadang-gadang sangat mengesankan dengan tingkat inflasi yang nyaris sejajar dengan lantai.

Tapi di tengah-tengah euforia pertumbuhan ekonomi dan proyek-proyek infrastruktur itu, industri baja meradang, industri semen kelebihan produksi, industri pelayanan penerbangan kelimpungan, industri asuransi dilanda skandal demi skandal, manufaktur nasional menua dan deindustrialistik, bersamaan dengan petani-petani yang menyaksikan hasil pertaniannya dilindas oleh komoditas impor yang ikut "nimbrung" di atas aspal jalan desa hasil karya proyek infrastruktur negara.

Kita kini terlena dan perlu mengingat kembali secara kontemplatif kalimat apa yang digunakan Paul Krugman untuk menutup tulisannya kala itu.

"But economics is not a dismal science because the economists like it that way, it is because in the end we must submit to the tyranny not just of the numbers, but of the logic they express," tulis Krugman mengakhiri tulisannya.

Kita tidak hanya memerlukan angka pertumbuhan yang tinggi, tapi juga harus memahami segala sesuatu yang telah menciptakan angka tersebut.

Jika hanya angka besar di atas kertas yang tidak mewakili kapasitas, kekuatan, dan daya saing perekonomian nasional secara fundamental, maka angka tersebut suatu waktu akan kehilangan makna.

https://money.kompas.com/read/2022/12/22/123455626/arah-strategis-pertumbuhan-ekonomi

Terkini Lainnya

OJK Bakal Buka Akses SLIK kepada Perusahaan Asuransi, Ini Sebabnya

OJK Bakal Buka Akses SLIK kepada Perusahaan Asuransi, Ini Sebabnya

Whats New
Gelar RUPST, KLBF Tebar Dividen dan Rencanakan 'Buyback' Saham

Gelar RUPST, KLBF Tebar Dividen dan Rencanakan "Buyback" Saham

Whats New
Layanan LILO Lion Parcel Bidik Solusi Pergudangan untuk UMKM

Layanan LILO Lion Parcel Bidik Solusi Pergudangan untuk UMKM

Whats New
60 Persen Pekerja RI Bekerja di Sektor Informal dan Gig, Hadapi Tantangan Keterbatasan Akses Modal

60 Persen Pekerja RI Bekerja di Sektor Informal dan Gig, Hadapi Tantangan Keterbatasan Akses Modal

Whats New
Surat Utang Negara adalah Apa?

Surat Utang Negara adalah Apa?

Work Smart
Luhut Minta Kasus Tambak Udang di Karimunjawa Tak Terulang Lagi

Luhut Minta Kasus Tambak Udang di Karimunjawa Tak Terulang Lagi

Whats New
Kemenhub Bebastugaskan Sementara Kepala Kantor OBU Wilayah X Merauke yang Diduga KDRT

Kemenhub Bebastugaskan Sementara Kepala Kantor OBU Wilayah X Merauke yang Diduga KDRT

Whats New
Demi Tingkatkan Kinerja, Bakrie & Brothers Berencana Lakukan Kuasi Reorganisasi

Demi Tingkatkan Kinerja, Bakrie & Brothers Berencana Lakukan Kuasi Reorganisasi

Whats New
Seberapa Penting Layanan Wealth Management untuk Pebisnis?

Seberapa Penting Layanan Wealth Management untuk Pebisnis?

BrandzView
Kejar Produksi Tanaman Perkebunan Menuju Benih Unggul, Kementan Lakukan Pelepasan Varietas

Kejar Produksi Tanaman Perkebunan Menuju Benih Unggul, Kementan Lakukan Pelepasan Varietas

Whats New
Pemerintah Siapkan 2 Hektar Lahan Perkebunan Tebu di Merauke

Pemerintah Siapkan 2 Hektar Lahan Perkebunan Tebu di Merauke

Whats New
Mudahkan Reimbursement Perjalanan Bisnis, Gojek Bersama SAP Concur Integrasikan Fitur Profil Bisnis di Aplikasi

Mudahkan Reimbursement Perjalanan Bisnis, Gojek Bersama SAP Concur Integrasikan Fitur Profil Bisnis di Aplikasi

Whats New
Simak Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di CIMB Biaga hingga BCA

Simak Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di CIMB Biaga hingga BCA

Whats New
Harga Emas Terbaru 17 Mei 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 17 Mei 2024 di Pegadaian

Spend Smart
OJK Cabut Izin Usaha Koperasi LKM Pundi Mataran Pati

OJK Cabut Izin Usaha Koperasi LKM Pundi Mataran Pati

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke