Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Outsourcing, Kontrak Kerja yang Dibuat di Era Megawati

KOMPAS.com - Saat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2001-2004, Megawati Soekarnoputri sempat mengeluarkan kebijakan outsourcing yang dimuat dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dengan terbitnya UU Ketenagakerjaan tersebut, Megawati mengatur keberadaan perusahaan alih daya di Indonesia secara legal atau resmi. 

Sejatinya, sebelum dilegalkan negara, praktik alih daya sudah lazim digunakan di berbagai sektor usaha. Masyarakat juga kerap menyebutnya usaha pemborongan, istilah lainnya dikenal pula kontraktor.

Sementara setelah dilegalkan di UU Ketenagakerjaan, penyedia tenaga kerja alih daya yang berbentuk badan hukum wajib memenuhi hak-hak pekerja. Di dalamnya juga diatur bahwa hanya pekerjaan penunjang yang dapat dialihdayakan.

Meski demikian, keluarnya aturan pemerintah yang melegalkan praktik outsourcing diprotes banyak kalangan saat itu, karena dianggap tak memberikan kejelasan status dan kepastian kesejahteraan pekerja alih daya.

Dalam beberapa kasus, para karyawan outsourcing tidak mendapat tunjangan dari pekerjaan yang dilakukannya seperti karyawan organik perusahaan.

Karyawan outsourcing juga berstatus sebagai pekerja dari perusahaan penyalur tenaga kerja. Dengan kata lain, perusahaan tempat bekerja atau perusahaan pemakai jasa outsourcing, tidak memiliki kewajiban terhadap kesejahteraan pada karyawan bersangkutan.

Beberapa jenis pekerjaan yang diperbolehkan menggunakan tenaga outsourcing adalah cleaning service atau jasa kebersihan, keamanan, transportasi, katering, dan pemborongan pertambangan.

Batasan-batasan pekerjaan outsourcing ini sesuai dengan regulasi pemerintah yang tercantum di Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur pekerjaan alih daya.

Di UU Ketenagakerjaan, pekerjaan outsourcing dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan penunjang.

"Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi," bunyi Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003.

Dalam praktiknya, banyak pula perusahaan yang melanggar lantaran menggunakan pekerja outsourcing untuk mengerjakan pekerjaan utama.

Outsourcing di UU Cipta Kerja dan Perppu

Namun di Pasal 66 UU Cipta Kerja, tak dicantumkan batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dilarang dilakukan pekerja alih daya, hanya menyebut pekerjaan alih daya didasarkan pada perjanjian waktu tertentu dan tidak tertentu.

"Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu," bunyi Pasal 66 UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Dengan revisi ini, UU Cipta Kerja dikhawatirkan membuka kemungkinan bagi perusahaan outsourcing untuk mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu.

Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Aturan ini menjadi pengganti UU Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Alasan pemerintah, penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.

Sesuai Pasal 64 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.

Selanjutnya, pemerintah akan menetapkan jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan tersebut melalui peraturan pemerintah.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar berpendapat, adanya kewenangan untuk menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan melalui penerbitan PP berarti membuka ruang bagi pemerintah untuk merevisi aturan sebelumnya tentang pekerjaan alih daya.

Hal ini dikhawatirkan justru akan menimbulkan ketidakpastian bagi pekerja dan pengusaha.

”Jika pemerintah tidak ingin substansi aturan pekerjaan alih daya kembali seperti UU No 13/2003, konsekuensinya adalah ada peluang pekerjaan inti bisa dialihdayakan. Apabila ini terjadi, akan muncul diskriminasi di tempat kerja,” kata Timboel dilansir dari Harian Kompas.

Sejauh ini, banyak serikat buruh menolak substansi Perppu No 2/2022. Mengenai pekerjaan alih daya, para serikat pekerja menyatakan seharusnya pemerintah menegaskan jenis dan jumlah pekerjaan yang boleh dialihdayakan dan yang tidak. Seperti diketahui, ketentuan alih daya dalam UU No 13/2003 terletak pada Pasal 64, 65, dan 66.

Pada Pasal 64 UU No 13/2003 disebutkan, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Kemudian, sesuai Pasal 65 Ayat (2) UU No 13/2003, pekerjaan yang dapat dialihdayakan harus memenuhi empat syarat. Pertama, dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama.

Kedua, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Ketiga, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan. Keempat, tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Lalu, sesuai Pasal 66 Ayat (1) UU No 13/2003, pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Kegiatan tersebut meliputi pelayanan kebersihan, penyediaan makanan, usaha tenaga pengaman, jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta penyediaan angkutan pekerja.

Versi pengusaha

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, terdapat perubahan terkait aturan pekerja alih daya dalam Perppu Cipta Kerja.

Perppu Cipta Kerja menyebut perusahaan dapat menyerahkan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian alih daya.

Anggota Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan Apindo Susanto Haryono mengatakan, hal yang substantif dari aturan alih daya adalah bagaimana perusahaan alih daya atau bukan, tetap patuh pada auran pemerintah untuk perlindungan tenaga kerja.

"Jadi kalau wajib dibayar sesuai upah minimum, kontrak dibatasi berapa tahun atau pengaturan wajib ikut jaminan sosial apapun, pengusaha alih daya tetap wajib memenuhi hal itu, sehingga tidak ada pembedaan kalau pekerja alih daya maka pengaturannya demikian," kata dia dalam konferensi pers.

Menurut Susanto dalam era industri 4.0 ini, tenaga kerja outsourcing sangat dibutuhkan. Hal ini mengingat semakin banyak kompetensi pekerja yang dibutuhkan seiring dengan berkurangnya jenis-jenis pekerjaan tertentu.

Pasalnya, beberapa jenis pekerjaan yang sebelumnya tidak familiar ditemuakan tiba-tiba menjadi sebuah kebutuhan baru di perusahaan.

"Outsourcing ini bukan lagi untuk mencari pekerja murah, tetapi untuk mencari pekerja yang terampil," tegas dia.

Dengan begitu, perusahaan dapat tetap berkelanjutan dan tetap efisien di dalam menjalankan bisnisnya.

Sebelumnya, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan terdapat batasan jenis kegiatan yang dapat dikerjakan oleh pekerja alih daya (outsourcing).

Pekerja alih daya tidak diperkenankan untuk melaksanakan kegiatan pokok atau berhubungan langsung dengan proses produksi. Pekerja alih daya hanya diperkenankan untuk mengerjakan kegiatan penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

"Alih daya (outsourcing) berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja. Pembatasan lingkup kerja yang dapat dialihkan kepada perusahaan lain tidak relevan lagi, sebab dalam era revolusi industri 4.0 terdapat pekerjaan baru yang belum tentu setiap perusahaan memiliki ketrampilan tersebut," urai dia.

Untuk itu, Susanto menekankan, paradigma pekerja outsourcing perlu dipandang sebagai pekerja terampil, bukan untuk pekerja murah.

https://money.kompas.com/read/2023/01/11/091003726/mengenal-outsourcing-kontrak-kerja-yang-dibuat-di-era-megawati

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke