Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dilema Program Hilirisasi

Dalam konteks ekonomi, hilirisasi diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah atau komoditas serta meningkatkan kemampuan suatu negara atau wilayah dalam menghasilkan produk bernilai tambah tinggi.

Hilirisasi melibatkan penambahan nilai melalui berbagai tahap produksi dan pengolahan, seperti manufaktur, pengemasan, distribusi, dan pemasaran produk.

Dengan demikian, hilirisasi berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, dan pembangunan industri yang berkelanjutan.

Hilirisasi bukannya tanpa masalah. Pertama butuh modal besar untuk membangun perusahaan manufakturing. Kedua, butuh teknologi yang lumayan canggih untuk mengolah.

Ketiga, kehilangan memperoleh devisa hasil ekspor yang cepat dan lukuid. Keempat, memastikan keberadaan bahan baku pasokan hulu.

Dua komoditi yang sedang digarap adalah hilirasi pangan dan energi. Salah satu contoh hilirisasi adalah industri minyak sawit di Indonesia.

Sebagai salah satu produsen terbesar minyak sawit mentah di dunia, Indonesia berupaya untuk mengembangkan industri pengolahan minyak sawit menjadi produk jadi seperti minyak goreng, margarin, sabun, biodiesel, dan produk turunannya.

Dengan melalui tahap-tahap produksi ini, nilai tambah yang dihasilkan lebih tinggi daripada hanya menjual minyak sawit mentah.

Masalah yang timbul klasik selalu terjadi. Pertama, ketergantungan pada ekspor CPO: Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor CPO sebagai sumber pendapatan utama dari industri kelapa sawit.

Hal ini mengakibatkan kerentanan terhadap fluktuasi harga pasar global dan meningkatkan risiko ekonomi ketika harga CPO turun.

Rendahnya kapasitas pemrosesan dalam negeri: Meskipun Indonesia merupakan produsen terbesar kelapa sawit, kapasitas pabrik pengolahan dalam negeri untuk menghasilkan produk turunan sawit masih terbatas.

Kurangnya pengetahuan dan keterampilan industri: Kurangnya pengetahuan dan keterampilan ini menjadi hambatan bagi perusahaan untuk mengembangkan produk turunan kelapa sawit dengan nilai tambah tinggi.

Keterbatasan dukungan infrastruktur: Banyak daerah di Indonesia, terutama di daerah pedesaan yang merupakan pusat produksi kelapa sawit, masih menghadapi keterbatasan infrastruktur memadai.

Isu lingkungan: Dalam menghilirkan industri sawit, penting untuk memperhatikan praktik berkelanjutan yang melibatkan perlindungan lingkungan dan konservasi sumber daya alam.

Hilirisasi energi

Kedua, hilirisasi energi dengan fokus pada pengolahan dan nilai tambah pada sektor energi. Hal ini dilakukan dengan mengalihkan fokus dari hanya menjadi eksportir sumber daya energi mentah, seperti minyak bumi atau gas alam, batu bara, pertambangan seperti nikel, copper, tembaga, timah dan lain-lain, menjadi produk manufaktur turunannya.

Contoh dari hilirisasi energi adalah transformasi sektor minyak dan gas alam. Sebagai contoh, negara-negara yang memiliki cadangan minyak dan gas alam yang besar dapat mengembangkan industri pengolahan dan petrokimia untuk menghasilkan produk seperti bahan bakar bermutu tinggi, bahan kimia, plastik, dan produk turunannya.

Hilirisasi di sektor minyak di Indonesia sudah sulit dilaksanakan dalam jumlah besar karena selama puluhan tahun, sistem minyak kita menganut kotrak production sharing dengan investor.

Investor dapat kontrak, lalu eksplorasi dan diekspor. Untuk kebutuhan dalam negeri, baik minyak mentah atu turunannya, Indonesia harus impor.

Dalam konteks global, hilirisasi energi menjadi semakin penting dalam upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengatasi perubahan iklim.

Dengan memprioritaskan pengembangan industri energi yang lebih maju dan ramah lingkungan, negara-negara dapat berperan aktif dalam transisi menuju sistem energi yang lebih berkelanjutan dan rendah karbon.

Tantangan hilirisasi energi lebih berat lagi. Pertama, hilirisasi energi turunannya cukup banyak, membutuhkan teknologi dan infrastruktur yang canggih.

Kedua, ketergantungan pada ekspor energi mentah, seperti minyak bumi, batu bara, gas alam, dan pertambangan umum.

Ketiga, hilirisasi energi membutuhkan investasi yang signifikan dengan risiko tinggi. Kurangnya modal atau akses ke sumber daya keuangan dapat menjadi kendala dalam melaksanakan program hilirisasi energi yang efektif.

Keempat, pengolahan energi dan produksi produk energi yang lebih maju sering kali melibatkan dampak lingkungan yang signifikan. Contohnya, industri petrokimia dapat menghasilkan limbah berbahaya dan emisi gas rumah kaca. 

Kelima, hilirisasi energi dapat mengubah struktur pasar dalam sektor energi. Ini dapat mengakibatkan pergeseran kekuatan dan mungkin mengganggu pemangku kepentingan yang ada.

Saat ini sedang diperbincangkan hilirisasi nikel di Indonesia, potensinya (sangat) besar, tetapi masalahnya juga sama besarnya.

Pertama, Indonesia adalah salah satu eksportir nikel mentah terbesar di dunia. Meskipun ada upaya untuk mengembangkan industri hilirisasi nikel, tetapi negara ini masih sangat bergantung pada ekspor nikel mentah.

Kedua, hilirisasi nikel membutuhkan modal, infrastruktur dan teknologi canggih. Saat ini Pengolahan nikel di dalam negeri masih terbatas, seperti produk nikel pig iron dan feronikel.

Karena tidak ada kemampuan pengolahan lebih lanjut, maka langsung diekspor ke China. Negara itu kemudian mengolah menjadi produk jadi seperti baterai.

Ketiga, pengolahan nikel dan produksi produk nikel yang lebih maju sering kali menghasilkan limbah beracun dan berbahaya. Beberapa pabrik pengolahan nikel di Indonesia telah dikaitkan dengan pencemaran lingkungan yang serius.

Keempat, hilirisasi nikel seringkali membutuhkan lahan yang luas untuk pabrik pengolahan dan tambang.

Hal ini dapat menyebabkan konflik dengan masyarakat lokal yang mungkin mengalami penggusuran paksa atau kehilangan akses terhadap tanah mereka. Konflik lahan sering kali menjadi masalah serius yang terkait dengan hilirisasi nikel di Indonesia.

Terakhir, hilirisasi nikel di Indonesia didominasi oleh perusahaan multinasional, saat ini khususnya China. Hal ini dapat menyebabkan ketimpangan ekonomi antara perusahaan dan masyarakat lokal.

Manfaat ekonomi dari hilirisasi nikel mungkin tidak sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat setempat, yang dapat menyebabkan ketidakadilan dan ketidakpuasan sosial.

Memastikan keberadaan pasokan bahan baku pangan dan energi yang akan dihilirkan membutuhkan kebijakan pemerintah.

Kebijakan larangan ekspor bukan merupakan kebijakan yang tepat karena kita kehilangan penerimaan negara dan bertentangan dengan semangat globalisasi sehingga rawan digugat negara lain di WTO.

Kebijakan tarif pungutan ekspor yang dinamis adalah kebijakan tepat, namun harus transparan dan jelas formulanya.

Yang tidak kalah pentingnya adalah iklim investasi, risiko perubahan regulasi dan kepastian hukum untuk membangun proyek pembangunan industri pengolahan.

Indonesia tampaknya harus terus berbenah agar investor, khususnya dalam negeri mau dan bersedia berinvestasi di sektor manufaktur energi hilir yang berisiko tinggi. Jika tidak ada dari dalam negeri atau joint venture, maka investor asing akan melenggang dan posisi tawar kita sering kali tidak memadai.

https://money.kompas.com/read/2023/06/05/063000226/dilema-program-hilirisasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke