Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Risiko Tersembunyi Hilirisasi Nikel

Sebagaimana dipaparkan oleh Direktur Studi China Indonesia Celios, M Zulfikar Rakhmat Ph.D, Indonesia tekor Rp 32 triliun dari investasi smelter nikel asal China.

Angka tersebut, kata beliau, belum termasuk kerugian atas rusaknya alam dan lingkungan di sekitar smelter nikel (Inilah.com, 20/6/2023).

Angka itu didapat dari perhitungan Celios berdasarkan pemberian tax holiday kepada smelter nikel China di Sulawesi selama rentang waktu 30 tahun, alias perusahaan-perusahaan tersebut tidak membayar pajak.

Jadi, Indonesia tidak saja rugi secara ekonomi karena harus menahan diri dari hasrat untuk mendapatkan revenue (fiskal), tapi justru juga harus menanggung beban lingkungan, berupa kerusakan alam.

Hal itu bisa terjadi karena, masih menurut Celios, mereka tidak mengantongi izin perusahaan yang disebut dengan Environmental, Social, Governance (ESG) license.

Hasil kajian ini sangat menarik sehingga saya terpanggil untuk membahasnya lebih lanjut.

Sebenarnya, dalam tulisan-tulisan saya terdahulu terkait dengan pertambangan di Sulawesi, pandangan saya tidak jauh berbeda dengan hasil kajian Celios ini.

Banyak pekerjaan rumah yang sejatinya harus dibenahi oleh pemerintah di sana, tapi justru dibiarkan terus berlangsung, bahkan didukung oleh lingkaran elite-elite yang menguasai tatanan ekonomi politik nasional kita.

Kerugian yang digambarkan Celios, adalah "jenis trade off" yang tak sepadan dengan yang seharusnya diterima Indonesia.

Boleh jadi angka tersebut belum mamasukkan "opportunity loss" yang dialami para penambang lokal akibat pelarangan ekspor nikel mentah ke luar negeri.

Penambang-penambang domestik harus menjual nikel hasil tambangnya kepada pihak industri, yang notabene dikuasai asing (China), dengan harga diskon alias di bawah harga pasar global.

Jika dikalkulasi, angkanya tentu tidak kalah besarnya. Celakanya, "opportunity loss" yang dialami penambang lokal menjadi keuntungan besar di tangan pelaku industri dari China, yang sebelumnya justru sudah mendapatkan keringanan pajak (tax holiday) dari pemerintah.

Di mana letak persoalan dasarnya? Dalam hemat saya, pemerintah kita terlalu berambisi untuk melakukan hilirisasi nikel, tapi dilakukan secara tidak terukur.

Hanya karena ingin "cepat" proses hilirisasinya selesai, lalu semua keinginan investor dituruti. Sialnya, investor tersebut mayoritas berasal dari China, yang memiliki gaya berinvestasi agak merkantilistik.

Gaya investasi merkantilistik adalah gaya lama, bahkan jauh-jauh hari sebelum era kolonialisme, di mana negara besar mengeksploitasi produk mentah dari negara koloni, untuk diolah menjadi barang jadi atau setengah jadi, lalu dijual kembali ke negara koloni.

Intinya, yang diincar oleh China sebenarnya adalah bahan mentahnya untuk menopang industrialisasi di negaranya.

Namun untuk menghindari risiko pelarangan ekspor barang mentah oleh Indonesia, China mendorong dunia usahanya untuk mendominasi industri pengolahan nikel di Indonesia.

Jadi, meskipun terjadi pelarangan, relasi merkantilistik tetap terjadi karena pembeli nikel mentah di dalam negeri adalah tetap pelaku industri dari China.

Dengan kata lain, saat pemerintah melarang ekspor nikel mentah, yang diuntungkan justru investor-investor dari China yang menguasai lini industrinya karena penambang mau tak mau harus menjual nikel hasil tambangnya ke pihak industri.

Otomatis, penambang yang mayoritas pengusaha lokal kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan besar dari ekspor nikel mentah, karena harus menjual nikel mentahnya ke pihak industri dengan harga jauh di bawah harga internasional.

Pemerintah, baik disadari atau tidak, nampaknya kembali kepada rezim "developmental state" yang dianut oleh negara-negara Asia Timur sebelum krisis 1997.

Pemerintah memberikan prioritas berlebihan kepada salah satu bidang, dengan segala kemudahannya, mulai dari kemudahan regulasi dan berbagai insentif fiskal, sampai kebijakan "represi fiskal", yang berujung pada kerugian besar di saat krisis datang.

Perbedaannya dengan rezim developmental state ala Korea Selatan, Jepang, atau Taiwan adalah bahwa pemerintah kita tidak memberikan prioritas pada pelaku dalam negeri, tapi pada pelaku industri asing.

Di negara-negara Asia timur, prioritas justru diberikan kepada pelaku dalam negeri, sehingga berhasil melahirkan brand yang sangat mendunia, seperti Mitsubishi, Toyota, Hyundai, Samsung, TSMC, dan sebagainya.

Negara-negara ini sangat antiasing pada mulanya. Mereka membangun industrinya dari nol, sampai menghasilkan merek-merek besar, lalu kemudian pelan-pelan membuka diri, setelah merek yang mereka bangun dianggap mampu bersaing dengan merek-merek internasional lainnya.

Sementara di Indonesia, ambisi hilirisasi dilakukan tanpa spirit nasionalisme. Yang penting terjadi hilirisasi, tanpa menghitung manfaatnya secara terukur dan teliti demi pelaku dalam negeri dan untuk pemerintah.

Padahal di lapangan, Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar, sebagaimana yang sering saya sampaikan, plus sebagaimana dinyatakan oleh hasil penelitian Celios di atas.

Naasnya, setelah berkorban luar biasa, pun pelaku dalam negeri tidak mendapatkan kenikmatan sebagaimana manfaat yang diperoleh pelaku dalam negeri di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, atau China. Di sinilah letak persoalannya.

Jika pun ada pelaku domestik yang diestimasikan akan menjadi penikmat utamanya, nampaknya sangat terbatas sifatnya, terutama bagi lingkaran elitis oligarkis, yang ikut bermain di industri tambang nikel atau industri kendaraan listrik.

Beberapa pihak di antaranya justru juga menjabat sebagai pejabat negara, yang mengaburkan relasi pemerintah dan dunia usaha karena batas antara regulator dan pelaku usaha menjadi sangat tipis.

Risiko lanjutan dari ambigunya relasi tersebut adalah bahwa kekuasaan pemerintah dipakai untuk memuluskan kepentingan bisnis kelompok ini.

Pasalnya, lingkaran elite ini berhasil mendorong negara untuk menunjukkan keberpihakan berlebihan kepada mereka dengan melahirkan kebijakan pemberian subsidi pada kendaraan listrik, yang belakangan sangat kontroversial itu.

Jadi, ekosistem hilirisasi nikel yang didorong oleh pemerintah telah menciptakan ketidakadilan yang cukup sistematis.

Tidak saja kerugian yang dialami negara, penambang lokal, plus kerusakan lingkungan, tapi di sisi lain kerugian tersebut justru bermakna keuntungan bagi beberapa pihak, baik pelaku industri dari China maupun mitra domestiknya yang notabene adalah elite-elite ekonomi politik negeri ini.

Jadi yang terjadi sesungguhnya pada hilirisasi nikel adalah praktik kapitalisme berkedok merkantilisme, yang dilakukan oleh investor asing bekerja sama dengan segelintir pihak domestik yang memiliki kekuasaan.

Jenis kapitalisme apakah itu? "What is called 'capitalism' is basically a system of corporate mercantilism, with huge and largely unaccountable private tyrannies exercising vast control over the economy, political systems, and social and cultural life, operating in close cooperation with powerful states that intervene massively in the domestic economy and international society", begitu menurut Avram Noam Chomsky.

Makna lain kalimat Profesor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) itu adalah perusahaan-perusahaan tidak saja menguasai kue ekonomi, tapi juga ikut mengendalikan proses pengambilan kebijakan, proses politik, dan dinamika sosial budaya yang justru sangat sepihak menguntungkan mereka, sembari membangun hubungan yang sangat erat dengan segelintir elite-elite yang sedang menguasai pemerintahan di kedua negara.

https://money.kompas.com/read/2023/06/22/060000926/risiko-tersembunyi-hilirisasi-nikel

Terkini Lainnya

Cara Bayar Shopee lewat ATM BRI dan BRImo dengan Mudah

Cara Bayar Shopee lewat ATM BRI dan BRImo dengan Mudah

Spend Smart
Apa yang Dimaksud dengan Inflasi dan Deflasi?

Apa yang Dimaksud dengan Inflasi dan Deflasi?

Earn Smart
Gampang Cara Cek Mutasi Rekening lewat myBCA

Gampang Cara Cek Mutasi Rekening lewat myBCA

Spend Smart
Penurunan Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Indonesia Berpotensi Tertahan

Penurunan Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Indonesia Berpotensi Tertahan

Whats New
Gaji ke-13 untuk Pensiunan Cair Mulai 3 Juni 2024

Gaji ke-13 untuk Pensiunan Cair Mulai 3 Juni 2024

Whats New
Masuk ke Beberapa Indeks Saham Syariah, Elnusa Terus Tingkatkan Transparansi Kinerja

Masuk ke Beberapa Indeks Saham Syariah, Elnusa Terus Tingkatkan Transparansi Kinerja

Whats New
Pesawat Haji Boeing 747-400 Di-'grounded' Pasca-insiden Terbakar, Garuda Siapkan 2 Armada Pengganti

Pesawat Haji Boeing 747-400 Di-"grounded" Pasca-insiden Terbakar, Garuda Siapkan 2 Armada Pengganti

Whats New
ASDP Terus Tingkatkan Peran Perempuan pada Posisi Tertinggi Manajemen

ASDP Terus Tingkatkan Peran Perempuan pada Posisi Tertinggi Manajemen

Whats New
Jaga Loyalitas Pelanggan, Pemilik Bisnis Online Bisa Pakai Strategi IYU

Jaga Loyalitas Pelanggan, Pemilik Bisnis Online Bisa Pakai Strategi IYU

Whats New
Bulog Targetkan Serap Beras Petani 600.000 Ton hingga Akhir Mei 2024

Bulog Targetkan Serap Beras Petani 600.000 Ton hingga Akhir Mei 2024

Whats New
ShariaCoin Edukasi Keuangan Keluarga dengan Tabungan Emas Syariah

ShariaCoin Edukasi Keuangan Keluarga dengan Tabungan Emas Syariah

Whats New
Insiden Kebakaran Mesin Pesawat Haji Garuda, KNKT Temukan Ada Kebocoran Bahan Bakar

Insiden Kebakaran Mesin Pesawat Haji Garuda, KNKT Temukan Ada Kebocoran Bahan Bakar

Whats New
Kemenperin Pertanyakan Isi 26.000 Kontainer yang Tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak

Kemenperin Pertanyakan Isi 26.000 Kontainer yang Tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak

Whats New
Tingkatkan Akses Air Bersih, Holding BUMN Danareksa Bangun SPAM di Bandung

Tingkatkan Akses Air Bersih, Holding BUMN Danareksa Bangun SPAM di Bandung

Whats New
BEI: 38 Perusahaan Antre IPO, 8 di Antaranya Punya Aset di Atas Rp 250 Miliar

BEI: 38 Perusahaan Antre IPO, 8 di Antaranya Punya Aset di Atas Rp 250 Miliar

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke