Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Meninjau Hubungan Inflasi dan Suku Bunga Bank Sentral

Ekonomi global tetap dalam keadaan ambigu di tengah pengetatan langkah-langkah moneter yang kuat, didorong kenaikan inflasi yang signifikan setelah pembukaan kembali ekonomi pascapandemi COVID-19.

Bank-bank sentral utama telah menunjukkan niat mereka untuk bertahan dengan sikap mereka saat ini, mendukung kebijakan suku bunga lebih tinggi untuk waktu lebih lama dalam upaya mengendalikan terus meningkatnya tingkat inflasi yang telah melampaui target.

Meski sempat menghentikan kenaikan Federal Funds Rate (FFR) pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Juni lalu, Federal Reserve Amerika Serikat mengindikasikan dua kenaikan lagi masih bisa terjadi di atas 5,25 persen jika tekanan inflasi gagal mereda.

Tingkat inflasi di AS secara bertahap menurun dari puncaknya, turun dari 9,1 persen pada Juni 2022 menjadi 4,0 persen pada Mei 2023. Namun, tetap bertahan di atas tingkat inflasi yang ditargetkan sebesar 2 persen.

Dalam pertemuan bulan Juni, European Central Bank (ECB) membuat keputusan untuk menaikkan lebih lanjut tingkat operasi refinancing utamanya menjadi 4 persen, tingkat tertinggi sejak Krisis Ekonomi Global 2008, meskipun blok Eropa memasuki resesi teknis pada kuartal pertama 2023.

ECB juga merevisi perkiraan inflasinya untuk tahun ini dan menyatakan niatnya untuk terus menaikkan suku bunga pada pertemuan Juli 2023.

Tingkat inflasi di zona euro terus menurun dari puncaknya, turun dari 10,6 persen pada Oktober 2022 menjadi 6,1 persen pada Mei.

Namun demikian, itu tetap jauh lebih tinggi dari target ECB sebesar 2 persen. Dari sini, muncul pertanyaan: Sejauh mana pengaruh inflasi yang terus meningkat di negara-negara ekonomi utama terhadap laju inflasi Indonesia?

Apakah kewajiban Bank Indonesia (BI) untuk menyelaraskan tindakannya dengan bank sentral utama dan terus menaikkan suku bunga acuan? Bagaimana hal ini akan memengaruhi potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia?

Setidaknya ada tiga faktor yang memengaruhi penentuan arah BI terhadap suku bunga acuannya, BI 7-day Reverse Repo Rate (BI-7DRRR).

Faktor-faktor tersebut adalah tingkat inflasi domestik, keadaan sektor eksternal Indonesia yang ditunjukkan oleh current account balance dan kondisi ekonomi global yang berlaku, terutama terkait lintasan suku bunga global.

Faktor pertama memainkan peran utama dalam proses pengambilan keputusan, mengingat Indonesia mengadopsi Kerangka Penargetan Inflasi Fleksibel.

Tingkat laju inflasi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran yang mencerminkan perilaku para pelaku pasar atau masyarakat.

Salah satu faktor yang memengaruhi perilaku masyarakat tersebut adalah ekspektasi mereka terhadap laju inflasi pada masa depan.

Ekspektasi laju inflasi yang tinggi akan mendorong masyarakat mengalihkan aset finansial yang dimilikinya menjadi aset riil seperti tanah, rumah dan barang-barang konsumsi lainnya.

Begitu juga sebaliknya, ekspektasi laju inflasi yang rendah akan memberikan insentif kepada masyarakat untuk menabung serta melakukan investasi pada sektor-sektor produktif.

Ekspektasi masyarakat terhadap inflasi pada masa depan antara lain dapat dilhat dari perkembangan suku bunga nominal perbankan.

Hal ini sejalan dengan sudut pandang term structure theory yang mengatakan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi masa depan dapat dilihat dari perkembangan suku bunga nominal.

Secara umum, suku bunga nominal mencerminkan suku bunga riil ditambah ekspektasi inflasi. Dengan demikian, perkembangan suku bunga nominal dapat digunakan sebagai indikator ekspektasi inflasi masyarakat.

Salah satu cara melihat ekspektasi inflasi di dalam suku bunga nominal adalah dengan menggunakan yield curve.

Yield Curve merupakan hubungan antara pendapatan atau suku bunga (rate of return) dengan jangka waktu (term of maturity).

Pada dasarnya bentuk yield curve memiliki keterkaitan dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter.

Secara konvensional, transmisi kebijakan moneter terjadi dari suku bunga jangka pendek yang dikendalikan bank sentral ke suku bunga jangka panjang. Suku bunga jangka panjang pada gilirannya akan memengaruhi permintaan agregat.

Bank sentral di negara yang menggunakan inflasi sebagai sasaran akhir, dapat menggunakan suku bunga jangka panjang untuk menguji efektifitas pencapaian dalam mengendalikan inflasi yang rendah.

Beberapa penelitian empiris di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya juga telah menemukan hubungan yang dekat antara slope jangka waktu suku bunga di atas satu tahun dengan proyeksi perubahan inflasi dalam jangka menengah.

Kerangka teori yang berkaitan dengan ini adalah “Hipotesa Fisher” yang menyatakan suku bunga nominal memiliki hubungan one for one dengan ekspektasi inflasi.

Di Indonesia terdapat beberapa jenis suku bunga nominal di antaranya Pasar Uang Antar Bank (PUAB), deposito berjangka 1 bulan sampai dengan 2 tahun, suku bunga kredit modal kerja, dan suku bunga kredit investasi.

Pada umumnya, di negara-negara maju ekspektasi inflasi dilihat dengan menggunakan suku bunga obligasi.

Namun demikian, fry (1988) dalam membahas terms structure of interest rate di negara-negara berkembang menggunakan suku bunga deposito untuk penelitiannya.

Dapat tidaknya suku bunga di Indonesia digunakan sebagai salah satu indikator ekspektasi inflasi, belum pernah ada yang membuktikannya secara empiris.

Pada Mei, Indonesia memperlihatkan penurunan tingkat inflasi tahunan yang patut dicatat, mencapai 4,00 persen tahun-ke-tahun (yoy).

Angka ini menandai level terendah yang diamati dalam rentang waktu 12 bulan. Penurunan laju inflasi tersebut lebih terasa dari perkiraan, menyusul laju inflasi sebesar 5,95 persen yoy pada September 2022 di tengah keputusan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi.

Penurunan signifikan ini disebabkan tingkat inflasi makanan yang terkendali, yang menunjukkan kenaikan terkecil dalam 14 bulan pada Mei tahun ini.

Untuk pertama kalinya, tingkat inflasi telah memasuki batas atas kisaran target yang ditetapkan BI yang menargetkan kisaran 2 persen hingga 4 persen.

Perkembangan tersebut patut dicatat karena selama 11 bulan terakhir tingkat inflasi masih berada di atas kisaran yang ditargetkan.

Apabila tingkat inflasi tetap dapat dikendalikan secara efektif dan tetap berada dalam kisaran yang diinginkan ke depan, maka ruang untuk menaikkan BI-7DRRR yang saat ini berada pada 5,75 persen dapat menjadi terbatas.

Dengan demikian, dari sisi tersebut, BI akan dapat mempertahankan sikap moneternya saat ini yang mengutamakan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Apakah tingkat inflasi yang masih tinggi di negara-negara besar berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi Indonesia?

Probabilitasnya tampak sangat rendah, mengingat tren penurunan harga pangan global yang ada dan tren deflasi yang diamati pada komoditas energi global.

Peningkatan tingkat inflasi yang diamati di negara-negara tersebut terutama berasal dari tekanan inflasi yang terkait dengan sektor jasa, berkorelasi dengan mobilitas publik yang tinggi, daripada komoditas yang dapat diperdagangkan secara internasional.

Di tengah risiko yang membayangi lambannya pertumbuhan ekonomi global, harga komoditas telah menurun secara nyata.

Hal tersebut pada gilirannya berdampak pada pelemahan kinerja sektor eksternal Indonesia yang terlihat dari penurunan surplus transaksi berjalan dari 1,27 persen Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan akhir 2022 menjadi 0,89 persen PDB pada triwulan IV 2020. kuartal awal 2023.

Kemungkinan surplus ini akan terus berkurang pada masa mendatang. Meskipun Mei 2023 menandai surplus perdagangan selama 37 bulan berturut-turut, surplus menyusut menjadi hanya 440 juta dollar AS, mewakili surplus perdagangan terkecil sejak April 2020.

Namun, neraca berjalan diperkirakan masih akan mencatat surplus kecil atau defisit yang dapat ditoleransi sepanjang tahun 2023.

Penurunan harga komoditas akan lebih bertahap karena beberapa alasan, yaitu pembukaan kembali ekonomi China, pengurangan produksi minyak OPEC+, penurunan produksi beberapa komoditas di tengah kemungkinan El Nino yang tinggi tahun ini dan pelonggaran energi global krisis. Hal ini masih dapat memberikan dukungan bagi stabilitas sektor eksternal.

Meskipun memang disparitas antara FFR dan BI-7DRRR cenderung berkurang, sehingga meningkatkan kekhawatiran akan risiko arus keluar modal dari Indonesia, BI diperkirakan akan berhati-hati dalam menyikapi perspektif terbaru The Fed dengan segera.

Konsekuensi dari transmisi FFR akan terlihat lebih jelas melalui fluktuasi imbal hasil obligasi pemerintah.

Jika imbal hasil SBN 10 tahun terus menurun dan mendekati ambang batas 6 persen, BI tidak perlu menaikkan BI-7DRRR.

Selanjutnya, kurs riil atau selisih antara suku bunga nominal dan tingkat inflasi instrumen keuangan Indonesia, terus menunjukkan tren positif dan melampaui Amerika Serikat.

Konsekuensinya, aset Indonesia mempertahankan daya tarik dan profitabilitas komparatifnya.

Kesimpulannya, untuk memastikan bahwa kebijakan moneter tetap selaras secara efektif dalam mendukung pemulihan ekonomi, Pemerintah perlu mengambil strategi lanjutan untuk menjaga stabilitas dan ketahanan pangan serta BI untuk meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan beradaptasi dalam menghadapi krisis yang terus-menerus terjadi.

Lanskap ekonomi global yang berkembang, yang tetap penuh dengan tingkat ketidakpastian dan kompleksitas yang substansial.

https://money.kompas.com/read/2023/08/04/135057526/meninjau-hubungan-inflasi-dan-suku-bunga-bank-sentral

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke