Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

DPR Dukung Pemerintah Pisahkan "Social Commerce" dan "E-commerce"

Adapun aturan main itu akan diimplentasikan lewat revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. 

Anggota komisi VI DPR RI Evita Nursanty mengatakan, kedua platform itu berbeda peruntukkannya yakni e-commerce secara garis besar adalah platform penjualan online situs web e-niaga dan pasar digital sementara social commerce adalah menggabungkan jejaring sosial dan e-commerce. 

Oleh sebab itu kedua platform itu harus dipisahkan agar memberikan keadilan untuk UMKM.

" Awalnya TikTok itu sekadar media sosial namun lambat laun mereka masuk menjadi e-commerce, itulah yang menjadi problem, sebab ternyata hal itu merugikan kita, merugikan UMKM kita dan sebaliknya menguntungkan barang-barang impor seperti dalam kasus barang-barang murah yang dari Tiongkok itu," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Senin (18/9/2023).

"Dagangnya di media sosial di mana tempat orang berkumpul lebih besar secara bebas setiap hari. Jadi kita ikut merasakan dampak ini, dan mendukung pemerintah agar mengatur tata kelola yang benar mengenai platform media sosial yang masuk ke e-commerce ini," sambungnya.

Walau demikian dia meminta agar Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kemenkominfo, cermat untuk menyusun aturan itu sebelum dirilis.

Sebab aturan soal PPMSE itu akan berlaku untuk semua platform dan bukan hanya TikTok saja.

"Kemudian dipikirkan matang-matang dampaknya bagi e-commerce yang sudah ada maupun UMKM. Sekali kebijakan sudah diputuskan harus dijalankan dengan konsisten, dan pasti butuh waktu lama memperbaikinya lagi," katanya.

Kemudian Evita juga mengatakan, TikTok Shop bisa membuka peluang masuknya barang-barang murah dari Tiongkok ke Tanah Air.

Hal itu lantaran TikTok Shop memiliki kemampuan artificial intelligence (AI) untuk mendeteksi produk yang disukai oleh pengguna sehingga diproduksi di Tiongkok dan masuk ke Tanah Air.

"Tentu dijual di sini harga sangat murah dan matilah barang kita, dan semua keuntungan dibawa ke nagara mereka. Tidak hanya Tiongkok tapi juga negara lain bisa memainkan ini, dan menurut saya itu tidak adil," pungkasnya.


Sebelumnya Evita juga menyoroti harga produk yang dijual platform TikTok yang kini merambah menjadi social commerce.

Evita mengatakan harga barang yang ditawarkan di TikTok terlalu murah. "Kadang-kadang harganya tidak masuk akal (di TikTok), ada Madurasa harganya Rp 1.000. Itu sudah jelas dumping," kata Evita dalam rapat kerja dengan Kementerian Perdagangan dan Kemenkop UKM di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (12/9/2023).

"Perdagangan ada yang mengawasi khusus? Di (Kementerian) Koperasi dan UKM ada? Harusnya ini di Kementerian Perdagangan, kalau memang ada itu ngapain saja mereka, karena boleh saya katakan gagal melakukan pengawasan," ujarnya.

Lebih lanjut, Evita berpendapat bahwa TikTok memprioritaskan produk-produk dari China melalui algoritma. Hal ini, kata dia, membuat produk UMKM lokal tak dilirik konsumen.

Evita mempertanyakan pengawasan yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) terhadap TikTok. Ia menilai pengawasan yang dilakukan Kemendag sudah gagal.

https://money.kompas.com/read/2023/09/18/180544926/dpr-dukung-pemerintah-pisahkan-social-commerce-dan-e-commerce

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke