Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengurangi Dampak Negatif Dominasi Bank Besar

Hal itu disampaikan Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) Solihin Juhro dalam peluncuran Buku Kajian Stabilitas Keuangan Nomor 41 dan Seminar Tentang Stabilitas Sistem Keuangan.

Namun, Solihin mengatakan, ada lima tekanan (shocks) eksternal dan lima kerentanan yang bisa saja menganggu stabilitas sistem keuangan jika tidak dikelola dengan baik. Kelima tekanan dari faktor eksternal adalah sebagai berikut:

Pertama, melambatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara maju di dunia termasuk Tiongkok yang merupakan salah satu rekan dagang utama Indonesia.

Kedua, menurunnya harga komoditas primer yang diekspor Indonesia seperti batubara karena melemahnya permintaan dari Tiongkok dan India.

Ketiga, potensi adanya kenaikan bunga acuan Amerika Serikat atau Fed Rate karena masih tingginya inflasi di AS.

Keempat, aliran modal asing keluar dari negara-negara sedang berkembang ke negara-negara maju yang menyebabkan mayoritas mata uang negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, mengalami pelemahan atau depresiasi terhadap dollar AS.

Kelima, gangguan pada sistem layanan, sistem pembayaran, dan sarana pendukung lewat serangan siber (cyber attack).

Sedangkan kelima faktor yang bisa menyebabkan kerentanan (vulnerability) pada stabilitas keuangan Indonesia adalah sebagai berikut:

Pertama, dominasi bank besar dalam sistem keuangan Indonesia. Kedua, terkonsentrasinya sumber dana pihak ketiga perbankan pada nasabah besar dan pada instrumen keuangan jangka pendek.

Dana tersebut sewaktu-waktu bisa berpindah ke instrumen keuangan lain yang memberikan hasil (yield atau return) lebih tinggi.

Ketiga, kredit yang terkonsentrasi pada sektor dan rantai nilai (value chain) tertentu dan pada debitur-debitur besar.

Keempat, sumber pertumbuhan ekonomi yang berasal hanya dari sektor tertentu antara lain sektor manufaktur dan sektor berbasis komoditas.

Kelima, saling terhubungnya (interconnectedness) antarberbagai lembaga keuangan, baik bank maupun non ank.

Dominasi bank besar

Salah satu faktor yang menyebabkan kerentanan pada stabilitas sistem keuangan di atas yang menarik untuk dibahas adalah dominasi bank besar dalam sistem keuangan di Indonesia.

Dominasi bank besar dalam sistem keuangan dan perbankan di Indonesia terkonfirmasi dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti diutarakan Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR (CNBC Indonesia, 3/2/2023).

Menurut data OJK, hanya ada empat bank besar yang modal intinya di atas Rp 70 triliun. Keempat bank tersebut adalah tiga bank BUMN dan satu bank swasta.

Data Statistik Keuangan Perbankan per September 2022, empat bank tersebut memiliki total aset Rp 5.199,06 triliun atau 49,57 persen total aset bank umum di Indonesia.

Terkonsentrasinya pelaku sektor keuangan hanya pada beberapa bank besar saja memang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kerentanan pada stabilitas sistem keuangan di Indonesia.

Dasarnya adalah dalil dalam bidang stabilitas sistem keuangan, yaitu Too Big To Fail atau terlalu besar untuk gagal.

Maksudnya adalah jika pelaku sektor keuangan hanya terkonsentrasi pada beberapa pelaku besar, maka jika pelaku besar yang hanya segelintir itu mengalami kesulitan atau bahkan bangkrut, maka seluruh sistem keuangan akan mengalami kesulitan yang pada akhirnya akan berujung pada krisis keuangan.

Krisis keuangan jika tak segera diatasi akan menyebabkan krisis ekonomi. Jika tak segera bisa ditangani, krisis ekonomi akan menyebabkan krisis politik.

Dampak kurang menguntungkan dari dominasi empat bank besar tersebut juga berdampak pada deposan yang menyimpan uangnya di bank. Suku bunga simpanan bisa ditekan pada tingkat rendah. Sementara pada debitur, suku bunga pinjaman bisa ditetapkan tinggi.

Akibatnya keuntungan bersih bank dari selisih antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman atau dikenal dengan Net Interest Margin (NIM) bank di Indonesia sangat tinggi dibanding negara-negara ASEAN lain.

Berdasarkan data OJK, NIM perbankan di Indonesia data 2022 adalah 4,68 persen atau nomor dua setelah Kamboja (5,35 persen).

Untuk negara-negara ASEAN lain datanya: Filipina (3,56 persen), Vietnam (3,35 persen), Thailand (2,48 persen), Malaysia (1,96 persen), Singapura (1,21 persen), Myanmar (1,09 persen), dan Laos (0,77 persen).

Beberapa penyebab terkonsentrasinya pasar perbankan di Indonesia antara lain: modal besar yang dimiliki oleh tiga bank BUMN maupun satu bank swasta sehingga mampu menjalankan bisnis secara efisien.

Khusus untuk tiga bank BUMN besar mempunyai pasar yang pasti (captive market) karena kerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah, baik dalam hal mendapatkan dana, mendapatkan fee dari berbagai pembayaran, maupun untuk penyaluran kredit.

Faktor lain, manajemen yang makin profesional dalam pengelolaan usaha.

Selain itu, faktor lain yang menyebabkan konsentrasi pasar perbankan hanya pada segelintir bank adalah kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan pada 2004. Kebijakan itu memang membatasi jumlah bank untuk masing-masing kategori.

Jumlah bank yang terlalu banyak dengan modal kecil dan bersaing secara sempurna juga tidak baik bagi dunia perbankan.

Bank-bank kecil yang bangkrut karena kalah bersaing akan menyebabkan kerugian bagi nasabah, khususnya deposan.

Oleh karena itu, API membatasi jumlah bank berdasar kategorinya sebagai berikut:

  • Dua sampai tiga bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal di atas Rp 50 triliun
  • Tiga sampai lima bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp 10 triliun sampai dengan Rp 50 triliun
  • Sebanyak 30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank. Bank-bank tersebut memiliki modal antara Rp 100 miliar sampai dengan Rp 10 triliun
  • Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp 100 miliar.

Guna mengurangi dampak negatif dari dominasi bank besar di Indonesia, ada beberapa kebijakan yang sudah dilakukan.

Pertama, ketentuan berdasar surat edaran BI yang kemudian diteruskan oleh OJK yang mengharuskan bank untuk mengumumkan secara transparan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)

SBDK memuat unsur-unsur suku bunga kredit perbankan yang meliputi: suku bunga simpanan, biaya overhead perbankan, dan marjin atau keuntungan perbankan.

Tujuannya agar bank menetapkan keuntungan (marjin) yang wajar dari selisih bunga simpanan dengan biaya overhead dan suku bunga kreditnya.

Guna mencegah kerugian akibat jatuhnya bank-bank besar khususnya, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga telah menjamin simpanan di perbankan bagi bank-bank yang ikut program penjaminan LPS.

Jadi jika bank-bank, termasuk bank besar, mengalami kesulitan bahkan bangkrut, maka simpanan nasabah akan tetap aman.

Untuk memberikan bunga rendah, BI juga sudah meluncurkan kebijakan subsidi bunga kredit bagi UMKM dan kebijakan likuiditas makroprudensial bagi sektor-sektor prioritas seperti sektor yang melestarikan lingkungan (green economy) dan sektor pariwisata.

Ke depan perlu dikaji ulang apakah jumlah bank-bank besar bisa ditambah jika dirasa terlalu sedikit dengan melonggarkan batas minimum setoran modal agar dominasi bank-bank besar di Indonesia bisa berkurang.

https://money.kompas.com/read/2023/10/26/101819826/mengurangi-dampak-negatif-dominasi-bank-besar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke