Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Belum Pulihnya Kesejahteraan Pasca-Pandemi

Potret ini tergambarkan berdasarkan angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS pada Juli 2023. Masih terdapat 9,36 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan sebesar 25,90 juta jiwa.

Melihat lebih dalam, laju penurunan angka kemiskinan saat ini jika dibandingkan penurunan pada periode awal pandemi 2020, hanya mengalami penurunan sebesar 4,28 persen.

Laju penurunan angka kemiskinan ini secara time series, mengalami perlambatan dibandingkan pada periode sebelum pandemi.

Periode tiga tahun terakhir sebelum pandemi, pada 2016 – 2019, laju penurunan angka kemiskinan cukup meyakinkan turun dari 10,86 persen menjadi 9,41 persen.

Secara hitungan matematis, jika tidak terjadi pandemi Covid-19, maka dengan laju penurunan tersebut diperkirakan angka kemiskinan pada 2023 sudah mencapai sekitar 8,47 persen. Angka tersebut semakin mendekati target RPJMN 2020-2024 sebesar 6,5-7,5 persen.

Belum pulihnya kondisi kemiskinan semakin jelas apabila ditinjau menurut laju penurunan angka kemiskinan perkotaan maupun perdesaan.

Angka kemiskinan perkotaan pada 2023 sebesar 7,29 persen. Angka ini masih lebih tinggi dibandingkan angka sebelum pandemi 6,69 persen pada 2019.

Dalam tiga tahun terakhir, laju penurunan angka kemiskinan perkotaan sejak 2020 – 2023 hanya sebesar 1,19 persen.

Penurunan kemiskinan perkotaan mengalami perlambatan cukup besar. Pada periode 2016 – 2019, laju penurunan kemiskinan perkotaan mampu mencapai 14,16 persen.

Kondisi ini sedikit berbeda jika dilihat di daerah perdesaan. Angka kemiskinan perdesaan pada 2023 sebesar 12,22 persen. Apabila dilihat secara cross section atau satu titik waktu, maka seolah-olah lebih rendah dari kondisi sebelum pandemi sebesar 12,85 persen pada 2019.

Padahal laju penurunan kemiskinan di perdesaan juga mengalami perlambatan dalam 3 tahun terakhir. Laju penurunan kemiskinan di perdesaan hanya sebesar 4,62 persen.

Sementara dalam 3 tahun sebelum pandemi (2016-2019), laju penurunan kemiskinan perdesaan mampu mencapai angka 8,93 persen.

Jika perlambatan kemiskinan ini terus berlanjut, maka target RPJMN 2020-2024 yang sebesar 6,5-7,5 persen akan semakin sulit tercapai.

Selain berdampak pada penurunan laju angka kemiskinan, nampaknya pandemi juga berdampak pada laju penurunan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.

Ukuran kedalaman kemiskinan dilihat berdasarkan indeks kedalaman kemiskinan, yang merupakan representasi rata-rata jarak pengeluaran tiap-tiap penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.

Semakin tinggi nilai indeks, maka semakin besar gap atau jarak antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan.

Pada 2023, tercatat nilai Indeks kedalaman kemiskinan sebesar 1,528. Meskipun secara angka sudah sedikit lebih rendah dibandingkan pada 2019 sebesar 1,553, namun terlihat adanya perbedaan laju penurunan tingkat kedalaman kemiskinan yang cukup signifikan dalam 3 tahun terakhir.

Pada periode 2016 – 2019, indeks kedalaman kemiskinan mampu turun sebesar 20,14 persen. Penurunan ini kemudian terkoreksi menjadi melambat pada periode 2020 – 2023 yang hanya mampu turun sebesar 4,85 persen saja.

Kondisi ini terjadi di daerah perkotaan maupun perdesaan. Di daerah perkotaan nampak lebih parah. Pada periode 2016 – 2019, tingkat kedalaman kemiskinan mengalami penurunan sebesar 11,71 persen untuk perkotaan dan 20,26 persen untuk perdesaan.

Tren penurunan tingkat kedalaman kemiskinan ini kemudian melambat pada periode 2020 – 2023. Pada daerah perdesaan, tingkat kedalaman kemiskinan turun sebesar 7,98 persen, namun di perkotaan malah mengalami kenaikan sebesar 3,01 persen.

Lambatnya penurunan indeks kedalaman kemiskinan dalam periode 3 tahun terakhir ini mengindikasikan bahwa mereka yang berada di bawah garis kemiskinan hanya mampu sedikit untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Kesejahteraan penduduk miskin hanya mampu bergerak secara lambat mendekati garis kemiskinan, namun tidak mampu keluar dari batas tersebut. Dan hasilnya secara agregat tingkat kemiskinan juga mengalami penurunan yang melambat.

Pun halnya dengan indeks keparahan kemiskinan, yang merepresentasikan mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi sebaran jarak pengeluaran di antara penduduk miskin.

Pada periode 2016 – 2019, indeks keparahan kemiskinan mampu turun sebesar 28,68 persen. Kemudian periode 2020 – 2023, terjadi perlambatan laju penurunan tingkat keparahan kemiskinan yang sangat signifikan.

Laju penurunan tingkat keparahan kemiskinan menjadi sangat rendah sebesar 0,80 persen.

Pada periode 2020 – 2023, di perkotaan justru mengalami lonjakan nilai indeks keparahan kemiskinan sebesar 13,97 persen. Padahal pada periode sebelum pandemi 2016 – 2019, sempat menurun sebesar 13,21 persen.

Pola hampir sama terjadi di daerah perdesaan. Meskipun secara nominal sudah berada di bawah angka sebelum pandemi, namun tren laju penurunan indeks keparahan kemiskinan mengalami perlambatan signifikan, yaitu sebesar 7,12 persen saja, setelah sebelumnya mampu turun 30,70 persen pada periode 2016 - 2019.

Lambatnya penurunan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan merupakan sinyal bahwa peningkatan kesejahteraan penduduk miskin setelah pandemi masih menyisakan PR besar.

Bahkan daerah perkotaan masih lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi. Penduduk miskin masih tertahan berada di bawah garis kemiskinan, bahkan dengan jarak kesenjangan antarpenduduk miskin yang masih lebar.

Tingkat kesenjangan meningkat

Tingkat kesenjangan diukur berdasarkan pengeluaran penduduk dengan menggunakan nilai gini ratio. Dalam 3 tahun terakhir, nilai gini ratio belum menunjukkan perbaikan. Angka gini ratio pada 2023 tercatat sebesar 0,388. Angka ini meningkat 1,70 persen jika dibandingkan kondisi 2020.

Di daerah perkotaan angka gini ratio naik 4,13 persen (periode 2020-2023). Sementara di daerah perdesaan sedikit mengalami penurunan sebesar 1,05 persen.

Tren ini berbeda dengan kondisi pada periode 2016 – 2019, saat sebelum pandemi. Pada saat itu tren kesenjangan pengeluaran penduduk di Indonesia terus menunjukkan arah perbaikan.

Gini ratio mampu turun 3,87 persen dari 0,397 pada 2016 menjadi 0,382 pada 2019. Pola ini terjadi baik untuk daerah perkotaan maupun perdesaan, di mana gini ratio masing-masing turun sebesar 4,35 persen untuk perkotaan dan 3,10 persen untuk perdesaan.

Kelompok penduduk pada lapisan terbawah dalam 3 tahun terakhir nampaknya terdampak paling parah jika dibandingkan mereka yang berada pada lapisan menengah-atas.

Nilai Indeks-L yang merupakan ukuran kesenjangan pengeluaran yang lebih sensitif pada kelompok terbawah menunjukkan kenaikan angka.

Dikutip berdasarkan Publikasi Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2023 yang dikeluarkan BPS, menunjukkan bahwa Indeks-L naik sebesar 3,63 persen dari 0,237 pada 2020 menjadi 0,246 pada 2023. Kenaikan cukup besar terjadi di wilayah perkotaan yang naik sebesar 7,94 persen.

Masih dari publikasi yang sama, kesenjangan ekonomi pada kelompok terbawah ini juga semakin terlihat nyata berdasarkan data distribusi pengeluaran penduduk yang dikelompokkan ke dalam lima kelompok penduduk secara berurutan, yaitu penduduk 20 persen terbawah (Q1), 20 persen menengah bawah (Q2), 20 persen menengah (Q3), 20 persen menengah atas (Q4) dan 20 persen teratas (Q5).

Data terakhir pada 2023 menunjukkan bahwa secara nasional, kue pengeluaran terbesar disumbang oleh 20 persen penduduk teratas dengan kontribusi hampir separuh dari kue pengeluaran, yaitu sebesar 46,71 persen.

Sementara penduduk 20 persen terbawah hanya mampu berkontribusi kurang dari sepersepuluh bagian atau hanya sebesar 7,20 persen saja.

Ilustrasi sederhananya, misalnya, ada penduduk di suatu wilayah diakumulasi nilai pengeluarannya adalah sebesar 1 juta, maka sekitar 500.000-nya merupakan pengeluaran dari 20 persen penduduk teratas. Sementara penduduk 20 persen terbawah hanya mampu menyumbang sekitar 70.000 saja.

Pandemi sudah berlalu, namun di tengah situasi perlambatan ekonomi global seperti saat ini dampaknya masih belum berakhir sepenuhnya.

Pemerintah dan para pemangku kebijakan terkait diharapkan tidak terlena pada capaian angka cross section pada satu titik setelah pandemi, namun perlu untuk melengkapi informasi dengan melihat data secara time series dari waktu ke waktu dengan melakukan perbandingan kondisi sebelum dan pascapandemi guna mendapatkan gambaran utuh, sehingga kebijakan yang diambil bisa menyeluruh.

Diperlukan langkah-langkah strategis untuk melakukan pemulihan secara menyeluruh terhadap kesejahteraan penduduk, baik dari sisi kemiskinan maupun ketimpangan, tidak hanya di daerah perkotaan, namun juga perdesaan.

Dibutuhkan paket kebijakan ekonomi yang bersifat inklusif, berkelanjutan dan berkeadilan utamanya bagi mereka yang berada pada lapisan terbawah.

Dengan harapan semua aktivitas ekonomi bisa pulih kembali minimal seperti sebelum pandemi, bahkan lebih baik lagi sehingga mampu mencapai tujuan akhir dari aktivitas ekonomi, yaitu kesejahteraan untuk semua.

The ultimate goal of economic activity is to improve the welfare of people – Walter Nicholson.

https://money.kompas.com/read/2024/02/09/144448426/belum-pulihnya-kesejahteraan-pasca-pandemi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke