Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kaji Ulang Kenaikan Pajak 12 Persen

Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ini perlu melihat kondisi obyektif dari masyarakat dan perekonomian nasional agar tidak kontraproduktif dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual beli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

PPN merupakan pajak tidak langsung, yang artinya dibayarkan oleh konsumen kepada penjual, namun kemudian disetorkan oleh penjual kepada kas negara.

Ada tiga alasan mengapa kenaikan PPN pada 2025 perlu dikaji ulang. Pertama, PPN yang dikenakan pada transaksi jual beli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) memiliki dampak langsung terhadap daya beli masyarakat.

Dengan adanya kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, harga barang dan jasa akan meningkat, yang berpotensi menurunkan kemampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa.

Hal ini khususnya akan berdampak pada kelompok masyarakat miskin dan rentan, yang memiliki keterbatasan dalam pengeluaran.

PPN merupakan pajak tidak langsung yang mengenakan beban pajak pada konsumen (destinataris).

Dengan kenaikan tarif menjadi 12 persen, tax burden yang ditanggung oleh konsumen akan semakin besar. Hal ini akan menurunkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Kenaikan tarif PPN berpotensi meningkatkan tingkat inflasi. Pemikul beban PPN adalah konsumen akhir, sedangkan perusahaan dapat mengkreditkan PPN sebagai Pajak Masukan.

Hal ini akan meningkatkan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya akan memengaruhi tingkat inflasi.

Selain itu, potensi restitusi PPN juga akan meningkat seiring dengan kenaikan tarif PPN, yang memerlukan biaya administrasi lebih besar bagi pemerintah.

Kedua, dalam kondisi perekonomian global yang masih penuh ketidakpastian, kenaikan tarif PPN dapat memperlambat pemulihan ekonomi nasional.

Konflik geopolitik, krisis energi, dan krisis pangan yang terjadi di berbagai belahan dunia telah menimbulkan tekanan tambahan terhadap perekonomian nasional.

Dengan adanya kenaikan PPN, biaya produksi bagi pengusaha akan meningkat, yang dapat mengurangi daya saing di pasar global dan membuat pengusaha enggan untuk berinvestasi serta menciptakan lapangan kerja baru.

Ketiga, beberapa sektor ekonomi yang diprediksi akan sangat terdampak oleh kenaikan PPN antara lain sektor ritel, pariwisata, dan industri.

Sektor ritel diprediksi akan mengalami penurunan penjualan akibat turunnya daya beli masyarakat.

Sementara itu, sektor pariwisata akan mengalami penurunan kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, karena kenaikan harga tiket pesawat, hotel, dan paket wisata.

Selain itu, sektor industri juga akan menghadapi tantangan dengan meningkatnya biaya produksi, yang berpotensi menurunkan daya saing pengusaha di pasar global.

Sebagai bahan perbandingan, negara-negara di kawasan ASEAN memiliki tarif PPN yang bervariasi. Singapura, misalnya, tetap menerapkan tarif tujuh persen.

Sementara Thailand sebelumnya menerapkan 10 persen dan kemudian menurunkannya menjadi tujuh persen selama pandemi COVID-19 dan tetap dipertahankan hingga 2023.

Menurut Pirlot dkk (2020), aspek timing dari kebijakan menjadi sangat penting, terutama saat ekonomi masih mengalami ketidakpastian akibat konflik geopolitik yang berdampak pada pasokan pangan dan energi dunia.

Selain itu, secara teoritis, tarif pajak yang tinggi dapat menurunkan kepatuhan pajak. Jika tarif PPN terlalu tinggi, ada potensi masyarakat akan mencari cara untuk menghindari atau mengurangi kewajiban pajak.

Oleh karena itu, perlu diperhatikan apakah tarif PPN yang diusulkan akan efektif dalam meningkatkan penerimaan pajak atau justru memengaruhi kepatuhan pajak.

Dampak kenaikan 2022

Kenaikan PPN menjadi 11 persen dilakukan pada 1 April 2022. Kenaikan tarif tersebut turut berkontribusi pada peningkatan penerimaan negara dari sektor PPN ini.

Pada 2021, total penerimaan PPN dan PPnBM Indonesia mencapai Rp 551,9 Triliun. Angka tersebut menyumbang porsi sebesar 35,7 persen dari total penerimaan pajak yang sebesar Rp 1.547,8 triliun.

Kemudian setelah diterapkan kenaikan tarif PPN pada April 2022, penerimaan PPN dan PPnBM meningkat 24,6 persen menjadi Rp 687,6 triliun di akhir tahun.

Angka tersebut menyumbang sebesar 33,8 persen dari total penerimaan perpajakan yang sebesar Rp 2.034,5 triliun.

Sedangkan pada 2023, penerimaan PPN dan PPnBM diperkirakan terealisasi tumbuh sebesar 11,2 persen menjadi Rp 764,3 T. angka tersebut setara dengan 40,9 persen dari total penerimaan pajak yang sebesar Rp 1.818,2 triliun.

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa peran PPN dan PPnBM dalam penerimaan negara semakin penting.

Kontribusi PPN sedikit menurun pada tahun 2022 dikarenakan penerimaan di sektor lain yang meningkat tajam, terutama Pajak Penghasilan Non Migas yang tumbuh sebesar 42,9 persen dari Rp 643,8 triliun menjadi Rp 920,3 triliun.

Pertumbuhan PPh Non Migas yang tinggi tersebut disumbangkan oleh PPh badan yang tumbuh tinggi seiring dengan pemulihan ekonomi.

Namun pada 2023, pertumbuhan PPh Non Migas kembali ke angka normalnya, yaitu di kisaran 7,9 persen menjadi Rp 993 Triliun.

Dengan melihat dinamika pertumbuhan komponen-komponen penerimaan pajak, tidak menutup kemungkinan, ke depan PPN akan menjadi komponen yang memiliki kontribusi terbesar dalam penerimaan pajak.

Dampak positif dari kenaikan PPN terhadap penerimaan negara tersebut harus dibayar dengan inflasi yang tinggi pada 2022.

Pada tahun tersebut, inflasi mencapai 5,51 persen. Inflasi yang stabil di awal tahun pada kisaran angka dua persen, mulai terdampak kenaikan tarif PPN 11 persen di mana pada inflasi bulan April 2022 inflasi naik menjadi 3,47 persen.

Pada bulan-bulan berikutnya, inflasi terus mengalami tren kenaikan hingga puncaknya pada bulan September, inflasi berada pada angka 5,95 persen, dan stabil di kisaran 5 persen hingga Februari 2023. Angka tersebut berangsur-angsur turun kembali ke kisaran 2 persen pada akhir 2023.

Kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen bukan satu-satunya faktor penyumbang angka inflasi tersebut. Namun kebijakan tersebut menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap kenaikan inflasi.

Peningkatan tarif ini meningkatkan biaya produksi bagi produsen, yang kemudian dapat direspons dengan menaikkan harga jual produk mereka. Kenaikan harga produk dan jasa akan langsung memengaruhi indeks harga konsumen, salah satu indikator inflasi.

Dampak kenaikan tarif PPN pada tahun 2022 tersebut dirasakan dengan inflasi yang tinggi dalam jangka pendek. Namun, saat inflasi mencapai 5,51 persen pada tahun tersebut, belum diikuti dengan kenaikan upah yang signifikan.

Rata-rata kenaikan upah pada tahun 2022 hanya sebesar 1,1 persen, dan pada 2023 sebesar 10 persen.

Dampak dari kondisi ini dapat memengaruhi kesejahteraan masyarakat dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan, terutama terkait daya beli masyarakat.

Dengan harga barang dan jasa yang terus meningkat, namun upah yang stagnan, masyarakat akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hal ini dapat mengurangi konsumsi domestik, yang merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Ketidaksesuaian antara inflasi dan kenaikan upah dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup masyarakat. Mereka mungkin harus mengurangi konsumsi barang dan jasa, mengorbankan kesejahteraan dan kualitas hidup, atau bahkan terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kaji ulang

Berbagai kalangan sudah bersuara terkait dengan lemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Menteri Keuangan, Sri Mulyani (CNBC Indonesia, 2024), mengungkapkan bahwa penjualan mobil telah terkontraksi delapan bulan berturut-turut hingga akhir Februari.

Penjualannya minus 18,8 persen secara tahunan atau year on year. Sementara itu, penjalan sepeda motor telah terkontraksi selama enam bulan berturut-turut hingga ke level minus 2,9 persen.

Begitu juga dengan pakar ekonomi, Fithra Faisal Hastiadi (CNBC Indonesia, 2024), yang mengungkapkan bahwa kelas menengah tengah mengalami tekanan daya beli yang disebabkan oleh pendapatannya yang terus menerus tergerus inflasi dan pekerjaan yang tidak berkualitas, serta kebijakan pemerintah yang tidak fokus memperbaiki kondisi ekonomi mereka.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan sangat berdampak pada masyarakat dan perekonomian. Bagi pengusaha, angka ini menjadi angka psikologis yang dapat menjadi beban peningkatan biaya produksi.

Sedangkan bagi masyarakat, kenaikan ini akan menjadi beban tambahan yang menurunkan daya beli. Apalagi ditambah dengan adanya pergantian rezim pemerintahan hasil pemilu 2024, akan menambah ketidakpastian dalam kebijakan ekonomi.

Apabila kebijakan tersebut benar-benar akan berjalan, akan banyak kelas menengah bawah yang semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pun begitu juga dengan kelompok miskin yang semakin jauh dari harapan untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Dengan demikian mustahil untuk menurunkan angka kemiskinan secara signifikan.

Di sisi lain, peningkatan penerimaan pemerintah dari kenaikan tarif PPN juga berbanding lurus dengan kenaikan alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial yang menyasar kepada kelompok rentan dan kelompok miskin.

Selayaknya Pemerintah dan DPR perlu duduk kembali untuk melakukan penyesuaian terhadap kebijakan kenaikan tarif PPN. Kebijakan yang tertuang dalam bentuk undang-undang ini memang agak sulit untuk dilakukan perubahan.

Namun, Pasal 7 Ayat (3) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan membuka peluang untuk penyesuaian tarif PPN tersebut menjadi paling rendah lima persen dan paling tinggi 15 persen.

Dengan melihat kondisi obyektif perekonomian dan masyarakat, para pengambil kebijakan harus arif dan bijak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan melakukan mengkaji ulang implementasi tarif PPN 12 persen.

Tarif PPN dapat diberlakukan setidaknya sama dengan tahun 2022 dan 2023, yaitu sebesar 11 persen dan ditetapkan dalam Undang-Undang APBN 2025.

Dengan tarif itu pun, penerimaan PPN masih mengalami peningkatan yang signifikan dan menjadi kontributor terbesar dalam penerimaan pajak.

Di sisi lain, mungkin dapat pula dipertimbangkan jika kenaikan dilakukan pada Pajak Penghasilan (PPh) yang hanya menyasar kalangan tertentu masyarakat yang daya beli serta ekonomi rumah tangganya tidak terganggu oleh dinamika perekonomian global dan domestik serta perluasan basis pajak di sektor digital.

Pemerintah juga perlu terus melakukan efisiensi belanja dengan mengedepankan kebutuhan prioritas masyarakat. Dengan demikian, APBN akan terus berfungsi sebagai distribusi kesejahteraan yang selalu memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

https://money.kompas.com/read/2024/04/01/112522926/kaji-ulang-kenaikan-pajak-12-persen

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke