Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Demokratisasi Pajak

Namun faktanya, mengumpulkan pendapatan dari sektor pajak tidaklah mudah. Contohnya, pendapatan dari Pajak Penghasilan (PPh) pribadi.

Berdasarkan data Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, realisasi rasio kepatuhan formal wajib pajak per 31 Maret 2023 hanya sebesar 66,69 persen dari 19,27 juta orang yang wajib melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Beberapa faktor menjadi penyebab rendahnya kepatuhan pajak, antara lain sistem perhitungan pajak yang rumit, tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya lapor pajak, dan potensi penyelewengan oleh oknum negara.

PR utama

Diskusi tentang tingginya pemotongan PPh di kalangan pekerja swasta semakin marak. Hal ini dipicu kebijakan Tarif Efektif Rata-rata (TER) yang merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Kebijakan ini berpotensi menimbulkan persepsi bahwa potongan pajak lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya, karena pemotongan dilakukan per bulan berdasarkan pendapatan bruto, sementara pada akhir tahun pajak dihitung berdasarkan perhitungan neto sesuai PPh 21 pasal 17.

Masyarakat semakin sadar akan berbagai pajak yang dikenakan kepada mereka. Dari mulai gaji, bonus akhir tahun, tunjangan hari raya, pembelian barang di toko atau mini market, rumah, kendaraan bermotor hingga tabungan di bank.

Wajar jika mereka mulai mempertanyakan penggunaan uang pajak yang mereka bayarkan.

Salah satu slogan yang digunakan oleh negara untuk menarik pajak adalah “orang bijak taat pajak.” Untuk menjadi bijak, seseorang membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang data dan informasi pajak.

Pada sisi lain, masyarakat lebih familiar dengan predikat sebagai orang baik, dibanding bijak. Dalam narasi agama-agama, ajaran budi pekerti di sekolah, maupun pergaulan di masyarakat, orang dengan predikat baik lebih dihargai karena menyangkut tindakan ke orang lain.

Sementara bijak, tindakan yang lebih personal, berdampak pada diri sendiri. Oleh karena itu, penting untuk menilik kembali frase dalam kampanye yang digunakan. Jangan hanya karena ingin memberikan dampak kalimat berima, artinya jadi terkesan jauh dari targetnya.

Kesan jauh semakin bertambah saat tidak banyak kampanye publik yang menjelaskan pentingnya membayar pajak selain menyebutkan kewajiban sesuai undang-undang.

Kampanye pajak seringkali disuarakan dari perspektif negara, sementara publik ingin melihat dampak langsung dari uang pajak yang mereka setorkan.

Para pembayar pajak akan merasa menjadi orang baik saat menerima laporan penggunaan uang pajak PPh yang disetorkan untuk membantu proses belajar mengajar di wilayah terpencil, atau vaksin polio yang diberikan kepada balita di pulau terluar Indonesia.

Negara juga dapat menuliskan keterangan dalam struk belanja di minimarket atau restoran bahwa sekian persen dari pajak pembelian digunakan untuk biaya pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.

Pendekatan-pendekatan ini sangat efektif dan dilakukan oleh lembaga penyalur infaq dan sedekah dengan para donatur.

Membangun kesadaran juga dapat dilakukan sejak usia dini dengan memasukkan materi tentang pentingnya membayar pajak dalam kurikulum pendidikan dasar. Ini akan memperkuat kesadaran individu tentang hak dan tanggung jawab sebagai warga negara.

Belajar dari Nordik

Negara-negara Nordik seperti Finlandia dan Denmark mampu mengelola pajak dengan optimal, menyediakan pendidikan dan kesehatan terbaik secara gratis.

Sehingga masyarakatnya tidak protes saat kebijakan pajaknya mengutip potongan yang sangat besar, karena mereka merasakan dampaknya pada kualitas layanan publik yang disediakan negara.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut bahwa masyarakat Finlandia harus rela dipotong 70 persen penghasilannya untuk pajak.

Kondisi di Denmark juga serupa, lebih dari separuh penghasilan rakyatnya disetorkan untuk membangun kualitas pendidikan, kesehatan, dan transportasi publik sehingga menjadi yang terbaik di dunia.

Belajar dari Finlandia dan Denmark, terdapat faktor lain yang memengaruhi kualitas layanan dasarnya, yakni rendahnya praktik korupsi.

Karena sebesar apapun uang pajak rakyat, tidak akan ada dampaknya untuk pembangunan negara. Karena benar menurut Mahatma Gandhi, Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahannya.

Indeks persepsi korupsi dunia oleh Transparency International, menempatkan Denmark dan Finlandia sebagai negara dengan tingkat korupsi terendah di dunia.

Kultur keterbukaan dan transparansi, sistem pengendalian internal dan eksternal yang kuat, serta keterlibatan masyarakat sipil dalam pemberantasan korupsi menjadi penentu keberhasilan kedua negara tersebut.

Sistem yang bersih dari korupsi tidak hanya menciptakan kesejahteraan, melainkan juga kebahagiaan rakyatnya.

World Happiness Report tahun 2024 menempatkan Finlandia sebagai negara paling bahagia di dunia selama tujuh tahun berturut-turut, disusul posisi kedua oleh Denmark.

Dengan kebijakan pajak penghasilan maksimal sebesar 35 persen dan jumlah penduduk yang besar, Indonesia memiliki modal cukup untuk memperbaiki kualitas pelayanan dasar, terutama pendidikan sebagai pondasi utama membangun karakter bangsa, serta kesehatan yang merupakan investasi dalam mewujudkan negara kesejahteraan.

Saatnya pajak Indonesia dikelola secara demokratis dengan mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Langkah ini tidak hanya akan membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga berpotensi mempersempit ruang praktik korupsi untuk pelayanan dasar publik yang lebih baik.

https://money.kompas.com/read/2024/06/30/092832526/demokratisasi-pajak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke