Partai politik ikut berkontribusi dalam kemunduran program KB di negeri ini. Kebanyakan partai politik tak mencantumkan program kependudukan sebagai salah satu yang akan diperhatikan bila mereka menang. Orientasi mereka hanyalah tertuju pada bagaimana memenangi kekuasaan.
Dengan kekuasaan DPR yang nyaris tanpa batas, partai politik menentukan apakah suatu program akan dilanjutkan atau tidak. Kemunduran program KB juga diakibatkan oleh pemimpin daerah yang nominasinya dari partai politik.
Pada umumnya, kader partai yang diajukan tak dilihat dari kapasitasnya memimpin pemerintahan sipil dan tak pula dibekali dengan pengetahuan menjadi pemimpin daerah. Pemilihan kader partai yang akan didudukkan di tampuk pemimpin daerah lebih dilihat dari loyalitas kepada partai serta besarnya sumbangan menghadapi pemilihan umum mendatang.
Dalam hal penyusunan program untuk kesejahteraan rakyat dan pelayanan kesehatan, para pemimpin daerah mengandalkan acuan yang diberikan pemerintah pusat. Kepatuhan pada acuan itu berkaitan dengan petunjuk penggunaan dana alokasi khusus.
Jika dalam dana alokasi khusus tidak ada acuan untuk KB, pemerintah daerah pun tak akan menempatkan KB sebagai program mereka. Maka, banyak kantor BKKBN di kabupaten atau kota yang ditutup atau digabung ke instansi lain sesuai dengan selera daerah masing-masing sebab tak ada acuan dari pemerintah pusat. Ada yang menggabungkannya dengan dinas kesehatan, dinas koperasi, atau dinas ketenagakerjaan.
Kesehatan
Ketika dalam pemerintahan SBY jilid I BKKBN ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Kesehatan, kehidupan program KB sangat tergantung kepada sikap menteri kesehatan.
Ketika menteri kesehatan tak menganggap program KB penting dalam sumbangannya terhadap kesehatan masyarakat, terutama kaum ibu dan bermakna besar bagi upaya pencapaian Sasaran Pembangunan Milenium (SPM), maka yang terpuruk bukan hanya sasaran program KB, tetapi juga sasaran penurunan angka kematian balita dan ibu. Secara teoretis, semakin banyak peserta KB, semakin banyak perempuan yang terselamatkan dari risiko kematian akibat kehamilan.
Hiruk-pikuk mengenai SPM baru muncul di kalangan pemerintah setelah mendekati tahun 2015, tahun SPM. Bergegas kita ingin mengejar SPM di tahun 2015 seperti yang dicanangkan PBB sehingga menimbulkan kesan bahwa kita perlu mengejar SPM demi menjaga citra RI di mata dunia, bukan demi kesejahteraan rakyat Indonesia sendiri.
Di saat seperti itu biasanya pola penyelesaian untuk mencapai SPM jadi tak mendasar dan tak pula berbasis sistem yang jelas. Salah satunya adalah menggratiskan persalinan di semua rumah sakit. Seolah dengan cara itu, angka kematian ibu akibat kehamilan dapat ditekan.