“KALAU semua orang jadi petani, nanti petaninya jadi apa dong?”
“Hmm, iya ya. Jadi apa ya?” tanya saya enggak kebayang.
“Ya jadi banyak! Hahahaha!” jawab teman saya sambil membusungkan dada. Bangga banget kayaknya teka- teki noraknya enggak ketebak sama saya. Pengen juga saya pejet itu jerawat nanggung di ujung hidungnya karena kecele.
Ini adalah teka- teki yang diajukan saat saya SD dulu, oleh seorang teman sekolah yang kini saya enggak tahu kabarnya gimana.
Baca juga: Kreator Lokal Ditargetkan Bisa Go International hingga IPO
Mendadak teka- teki ini mencuat kembali di kepala saya kemarin tanpa alasan, seperti pacar lama yang muncul tidak diduga- duga, saat saya mengisi sebuah seminar tentang Content Creator di Jakarta.
“Kalau semua orang jadi ‘kreator konten’, kreator kontennya jadi apa dong?”
“Jadi banyak,” celetuk saya di depan audience.
Dan saat itulah saya sadar. “Wiih, keren banget”.
Dan bisakah Anda bayangkan itu? Betapa kerennya saat semua orang bisa jadi kreator konten!
Bahkan, kenapa NGGAK semua orang jadi kreator konten? Kenapa Anda nggak jadi kreator konten?
Menjadi kreator konten
Beberapa tahun lalu, istilah ‘kreator konten’ mulai dipopulerisasi oleh generasi yang dalam buku saya Broken, saya sebut generasi challenger. Generasi yang ada bukan untuk mengikuti dan membangun, tapi mengubah dan menggoyang dunia dan sistem lama.
Sebelumnya, semua orang ini berdiri dan hadir terpisah- pisah, dan dalam kubu yang berbeda- beda. Ada YouTuber, ada blogger, vlogger, podcaster, komikus sosial media, influencer, komika sosial media, dan pengamen yang pengen banget bikin album di spotify.
Namun belakangan, seperti kucing dalam video viral yang mendadak sadar kalau dia punya kuping saat melihat cermin (kalau Anda enggak tahu, google aja), mereka menyadari satu hal krusial.
“Kenapa kita terlalu misah- misahin diri?” “Kenapa nggak barengan aja?”
Toh setiap kreator konten biasanya membuat lebih dari satu jenis konten anyway.