Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Industri Tekstil Indonesia: Banjir Impor hingga Corona

Kompas.com - 24/03/2020, 07:16 WIB
Fika Nurul Ulya,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemutusan Hubungan kerja (PHK) menghantui industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Kurangnya permintaan jadi salah satu yang membuat nafas industri megap-megap.

Indikasi pelemahan permintaan karena virus corona ditandai dari beberapa pasar produk tekstil yang ditutup sementara, seperti Pasar Tanah Abang. Hal tersebut membuat daya serap tekstil menurun, bahkan bila dibandingkan dengan minggu lalu.

Kendati penyerapan menurun, hingga saat ini industri tekstil masih bisa berjalan dan belum ada pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.

Baca juga: Muncul Ancaman PHK, Pemerintah Perlu Percepat Beragam Stimulus

Namun karena perubahannya cukup cepat, industri-industri tersebut tak bisa menjamin sampai kapan PHK tidak dilakukan utamanya bila pemerintah tak melakukan relaksasi lebih lanjut bagi perusahaan.

"Sampai hari ini industri tekstil masih berjalan full. Tapi tiap minggu, tiap hari, perubahan cukup cepat. Nanti kita cepat kita lihat pangsanya seperti apa," ujar Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa dalam konferensi video di Jakarta, Senin (24/3/2020).

Bahkan, adanya fenomena virus corona membuat asosiasi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) tidak berharap banyak dari momen lebaran tahun 2020. Apalagi, pandemi virus corona ini belum kunjung surut.

Lebaran yang biasanya jadi pendongkrak pendapatan untuk setidaknya menambah panjang nafas, kini tak lagi bisa diandalkan. Sebab daya beli masyarakat atas produk tekstil pasti dinomorduakan usai kebutuhan pangan terpenuhi.

"Proyeksi lebaran kita enggak terlalu berharap terlalu tinggi karena konsumsi utama pasti untuk makanan dulu, tekstil dinomorduakan. Kita mungkin tidaj terlalu berharap dari lebaran (kali ini)," Ujar dia.

Baca juga: Redam Dampak Corona, Apa Saja Stimulus yang Sudah Digelontorkan ?

Kebanjiran impor

Tak hanya Covid-19 yang menghantam, rupanya banjir produk tekstil impor di dalam negeri turut memukul pendapatan.

Sekretaris Jenderal APSYFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, industri mulai terseok-seok saat impor garmen meningkat beberapa bulan belakangan, sebelum wabah virus corona menyerang.

"Industri mulai slowdown, ditambah Covid-19. Tekanan akan terjadi tak hanya di industri garmen dan konveksi, tapi kain, benang, dan hulunya," kata Redma

Senada, Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Sektor Perdagangan Dalam Negeri, Chandra Setiawan mengatakan, fenomena itu membuat industri lokal dan luar negeri berebut pangsa pasar.

Apalagi produk impor kebanyakan merupakan barang jadi, bukan bahan baku.

"Kalau bicara market size, impornya dibuka, sudah kecil, berebutan, kita kesulitan. Terutama market-nya langsung market konsumsi seperti pakaian jadi. Kan langsung bisa dibeli (oleh masyarakat," ucap Chandra.

Ujung-ujungnya PHK karyawan dalam industri tekstil bukan lagi hal mustahil. Meski berat, PHK jadi satu-satunya jalan yang tidak terelakkan.

"Kalau kita tidak punya market lagi, PHK bukan hal yang mustahil. Akan ada keterpaksaan perusahaan untuk melakukan PHK karena marketnya kecil. Ini poin yang cukup penting," ucap dia.

Baca juga: RI Dicoret AS dari Daftar Negara Berkembang, Pengusaha Tekstil Risau

Stimulus dari pemerintah

Industri sepakat, satu-satunya cara membuat industri ini tetap hidup adalah stimulus tambahan dari pemerintah. Mereka mengaku, stimulus yang telah diberikan pemerintah selama ini belum cukup mendongkrak.

Redma mengungkap, insentif semata-mata diperlukan untuk menjaga arus kas (cashflow) perusahaan sehingga pembayaran dan THR kepada karyawan tidak terganggu alih-alih memberhentikan karyawan.

Dia bilang, wabah corona sudah cukup mengganggu arus kas perusahaan, yang kemudian berakibat tak terbatas hingga sektor hulu. Arus kas yang terganggu di sektor hilir misalnya, akan berpengaruh pada penundaan pembayaran di sektor hulu, seperti industri kain dan benang.

"Tentu cashflow jadi masalah dan berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kalau kita tidak mau ada PHK tentu yang kita utamakan adalah pembayaran gaji ke karyawan. Itu yang diutamakan. Ketika ada relaksasi (dari pemerintah), kita sangat menjaga agar tidak ada PHK," jelas dia.

Baca juga: Ada Corona, Industri Tekstil Tak Berharap Banyak dari Momen Lebaran

Salah satu stimulus yang mesti diberikan adalah pengendalian impor produk barang jadi tekstil. Pengendalian dilakukan dengan pengetatan verifikasi dalam pemberian Persetujuan Impor TPT.

Izin yang diberikan hanya benar-benar untuk bahan baku industri dengan pertimbangan memenuhi kapasitas produksi dalam negeri terlebih dahulu.

"Kita tidak butuh bahan baku murah, tapi kita butuh perlindungan pasar dalam negeri terutama IKM agar bisa menjual produknya. Jika pakaian jadi tidak ada pengendalian impor, banyak yang terpukul dari hulu hingga hilir," ucap Chandra.

Tak cukup sampai situ, Industri tekstil meminta penundaan membayar pajak baik pajak penghasilan orang pribadi maupun Pph Badan yang diperpanjang hingga 6 bulan dari yang seharusnya dibayar.

Penundaan Tenggat Pembayaran PPH Badan yang semula 30 April menjadi 30 Oktober dan PPH Pribadi yang semula 31 Maret menjadi 30 Septembar dengan penghapusan denda dan bunga.

Baca juga: Industri Tekstil Minta Penundaan Pembayaran Listrik dan Pajak

Mereka meminta pemerintah memberi keringanan Pajak PPH Badan 50 persen untuk tahun 2020. Begitu pun mengusulkan kesempatan perbaikan SPT Badan dan Pribadi dengan membayar pokok saja.

"Kami juga meminta memperpanjang masa pembayaran PPN Keluaran menjadi 90 hari. Sebagai contoh yang sekarang berjalan penjualan Maret PPN harus di setor April, kita mohon diperpanjang menjadi Juli," terang Jemmy.

Pertimbangan tersebut mengacu pada barang yang dijual rata-rata tempo pembayaran 120 hari dan sebagai antisipasi perpanjangan waktu pembayaran lanjutan dari konsumen sebagai dampak dari pelambatan pasar.

Di sektor energi, industri meminta pemerintah mempercepat implementasi penurunan harga gas, ke 6 dollar AS per MMBTU mulai April 2020.

Penundaan pembayaran 50 persen listrik tagihan PLN juga menjadi permintaan. Penundaan pembayaran listrik itu untuk 6 bulan ke depan dari April sampai September 2020 dengan jaminan cicilan berupa giro mundur selama 12 bulan.

"Pemberian diskon tarif beban idle untuk pukul 22.00 WIB sampai pukul 06.00 WIB," sebutnya.

Perlindungan Tarif berupa Safeguard untuk Produk Pakaian Jadi juga upaya lanjutan harmonisasi tarif dari hulu ke hilir untuk produsen hilir TPT dan IKM.

Mengingat begitu banyaknya petisioner yang harus dikumpulkan dalam waktu singkat, Safeguard produk Pakaian Jadi hanya mungkin diinisiasi oleh Pemerintah.

Baca juga: Tak Hanya Corona, Banjir Produk Impor Hantui PHK Industri Tekstil

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com