Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
INDEKS
Masyarakat Ekonomi Syariah

Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) berbagi inspirasi, informasi dan pengetahuan untuk mendorong peningkatan literasi dan inklusi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia.

Covid-19, Pembuktian Kedua Industri Syariah?

Kompas.com - 01/04/2020, 21:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pada krisis keuangan global, negara pusat keuangan Syariah seperti Malaysia dan negara-negara Timur Tengah tidak memiliki konektivitas produk keuangan yang tinggi dengan Amerika Serikat. Jadi efek krisisnya lebih rendah.

Namun kali ini, efek negatif ke perekonomian negara-negara episentrum industri keuangan Syariah bisa jadi lebih tinggi. Karena sistem kesehatan publik mereka yang relatif lemah.

Dari 57 negara Organisasi Konferensi Islam (OIC) hanya Oman (8) yang berada di 25 besar sistem kesehatan publik terbaik WHO.

Indonesia sendiri berada di peringkat 92, di antara Lebanon (91) dan Iran (93). Dengan asumsi tingkat keparahan wabah yang sama, beban mayoritas negara OIC untuk mengatasi wabah Covid-19 lebih berat.

Ruang fiskal dan moneter untuk intervensi stimulus ekonomi pun terbatas. Berbeda dengan Amerika Serikat, misalnya, yang telah menjanjikan stimulus ekonomi "awal" sebesar 850 miliar dollar AS (Rp 13.500 triliun) atau Jerman dengan 500 miliar euro (Rp 8.500 triliun) atau Inggris Raya dengan 350 miliar poundsterling (Rp 6.400 triliun). Konsekuensinya, proses recovery industri syariah mungkin akan lebih lambat.

Kedua, pariwisata halal adalah primadona baru industri Syariah di tengah kebutuhan negara-negara produsen minyak mendiversifikasi ekonomi mereka.

Indonesia juga salah satu yang gencar mempromosikan pariwisata halal. Sayangnya, industri ini lah yang paling terkena imbas pandemi Covid-19.

Di buku Economics in the Time of COVID-19 Kepala Ekonom Citibank Catherine L. Mann mengatakan bahwa bentuk shock and recovery industri pariwisata adalah L shape. Artinya, pemulihan industri sangat sulit dan butuh waktu yang panjang untuk kembali ke posisi semula.

Maskapai Inggris Flybe menjadi contohnya. Perusahaan penerbangan regional terbesar di Eropa pailit karena sepinya permintaan di masa krisis memperparah kondisi keuangan perusahaan yang sebelumnya sudah berdarah-darah. Tanpa intervensi pemerintah, maskapai-maskapai lain tidak mustahil bernasib sama.

Ketiga, perbankan Syariah tidak memiliki keunggulan komparatif seperti pada krisis 2008. Salah satu alasan bank Syariah "selamat" pada krisis sebelumnya adalah karena paparan terhadap aktifitas derivatif bank konvensional yang rendah.

Namun, Covid-19 memengaruhi seluruh lini produk perbankan dari pembiayaan standar konsumsi hingga perdagangan derivatif.

Secara global bahkan perbankan syariah saat ini berada dalam posisi kurang menguntungkan. Perang harga minyak antara Arab Saudi dan Rusia membuat "surplus" yang ditempatkan di perbankan syariah semakin kecil.

Telah menjadi rahasia umum bahwa petrodollar adalah bagian tak terpisahakan dari kelahiran perbankan Syariah.

Menangkap peluang di tengah krisis

Lantas masihkan ada celah untuk industri Ssyariah bersinar di krisis Covid-19 ini?

Tentu masih ada. Dengan syarat industri Syariah beranjak dari sekadar berlabel "halal" kepada pemenuhan sistem nilai Islam yang melandasinya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com