Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Eksistensi Jamu Gendong di Tengah Pandemi Corona

Kompas.com - 15/04/2020, 20:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

E jamu... jamune...

Badan sehat awak kuat yen diombe...
Mbakyu-mbakyu sampean mriki kulo tumbasi...
Monggo-monggo sing pait nopo sing legi...
("E Jamune", dipopularkan Waljinah)

Oleh: Kartika Nuringsih, SE, MSi

SUARA khas Waljinah saat menyanyikan lagu "E Jamune" di atas mengingatkan pada masa kejayaan jamu gendong.

Indonesia sebagai megacenter keaneragaman hayati memiliki tradisi menggunakan obat tradisional.

Kearifan lokal ini memiliki potensi dikembangkan sebagai aktivitas komersiel diantaranya jamu gendong seperti dalam lantunan lagu di atas.

Kaum wanita dari Karanganyar, Sukoharjo, dan Wonogiri dikenal gigih merantau di Jabodetabek atau kota besar di Indonesia sebagai pedagang jamu.

Sembari mempertahankan tradisi leluhur, eksistensi pedagang jamu mampu menegakkan ekonomi keluarga. Karena dijajakan dengan digendong lantas disebut jamu gendong.

Sekarang pedagang muda beralih menggunakan gerobak, sepeda, bahkan sepeda motor.

Namun, penampilan pedagang senior mempertahankan dengan mengendong bakul dari anyaman bambu berisi 7-9 botol jamu sambil membawa ember plastik ukuran kecil berisikan air untuk mencuci gelas.

Pedagang ini piawai membuat ramuan jamu beras kencur, kunyit asam, temu lawak atau pahitan yang bermanfaat untuk menjaga kebugaran.

Dalam sejarah jamu gendong, dahulu pedagang membuat delapan jenis jamu berupa: kunyit asam, beras kencur, cabe puyang, pahitan, kunci suruh, kudu laos, uyup-uyup/gepyokan dan sinom.

Sesuai urutan, jamu mengandung filosofi sebagai siklus kehidupan manusia yang diawali dari rasa manis-asam, selanjutnya sedikit rasa pedas-hangat, beralih menjadi rasa pedas, kemudian merasakan pahit, beralih ke rasa tawar dan akhirnya kembali menjadi manis.

Jumlah botol pun sebagai pertanda status pedagang. Lima atau tujuh botol menandakan gadis, 8 sudah menikah, dan 9 menandakan tidak bersuami.

Sekarang kriteria tersebut tidak berlaku pada komunitas jamu. Jumlah botol tergantung kemampuan mengendong atau jumlah pelanggan.

Jenis transportasi misalnya sepeda, gerobak atau sepeda motor dapat membawa lebih banyak.

Terkait filosofi di atas, jamu sebagai aset budaya sehingga perlu dipertahankan sekaligus mengapresiasi aktivitas komersiel yang dilakukan oleh Mbak Jamu.

Ilustrasi empon-empon: jahe, kunyit, dan kencur.SHUTTERSTOCK/MASTON ART Ilustrasi empon-empon: jahe, kunyit, dan kencur.
Keberadaan jamu tradisional diakui oleh pemerintah melalui Permenkes Republik Indonesia No. 006 Tahun 2012 dengan pernyataan, Usaha Jamu Gendong (UJG) adalah "Usaha yang dilakukan oleh perseorangan dengan menggunakan bahan obat tradisional dalam bentuk cairan yang dibuat segar dengan tujuan dijajakan langsung kepada konsumen".

Pada tahun 2014 jamu gendong diapresiasi oleh Kementrian Kesehatan melalui Gerakan Nasional Bugar dengan Jamu disingkat Bude Jamu.

Jamu gendong sebagai penyedia swamedikasi secara harian bagi masyarakat sehingga mendukung aktivitas pemeliharaan kesehatan masyarakat atau program Indonesia sehat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com