Oleh: Frangky Selamat dan Hetty Karunia Tunjungsari
SEBAGAI upaya untuk menggerakkan perekonomian nasional di tengah ancaman resesi akibat pandemi, pemerintah mempercepat program relaksasi dan bantuan likuiditas kepada koperasi dan UMKM, yang merupakan hampir 99 persen pelaku usaha di Indonesia.
Dana senilai Rp 123,46 triliun disediakan pemerintah, walau baru 9,58 persen yang tersalurkan (Harian Kompas, 25 Juli 2020) karena terkendala masalah klasik: ketidaktersediaan data yang lengkap dan akurat.
Sebenarnya untuk menggerakkan UMKM tidak hanya urusan dana modal kerja. Ada hal lain. Sebelum kondisi pandemi, UMKM selalu dihadapkan pada tiga masalah utama selain modal kerja: perluasan pasar, perizinan (legalitas usaha) dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI).
Baca juga: Gandeng Platform Medsos, Kemenkop Percepat UMKM Go Digital
Pada kondisi sekarang, selain melemahnya daya beli konsumen, yang selanjutnya menurunkan omzet penjualan, UMKM mulai terbelit masalah likuiditas. UMKM pun mengalami krisis modal kerja.
Permasalahan yang dihadapi UMKM memang tidak melulu pada masalah modal kerja, sehingga solusi yang diberikan pun tidak hanya berkutat pada dana.
Mereka juga memerlukan pendampingan dari sisi pemasaran dan produksi. Bantuan modal kerja lebih sesuai bagi yang sekarat karena kehabisan likuiditas. Walau tak sedikit juga yang tidak mau menerima bantuan dana karena alasan administratif yang dianggap tidak praktis.
Pemerintah memang tidak bisa bergerak sendiri. Peran perguruan tinggi juga dinanti untuk memberikan bantuan pendampingan kepada UMKM agar dapat bertahan dalam kondisi krisis seperti saat ini.
Hal itu juga dilakukan oleh Universitas Tarumanagara melalui Pusat Studi Kewirausahaan di bawah naungan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM).
Sejak tahun 2019, tim peneliti Pusat Studi Kewirausahaan Universitas Tarumanagara melakukan pendampingan pada sejumlah UMKM industri kreatif di Kota Jambi.
UMKM ini menghasilkan beragam produk kreatif mulai dari stik tempoyak, sambal tempoyak, kopi, nasi minyak, olahan daun bidara, asesoris, batik, lampu hias, hingga minuman herbal. Produk ini memang khas kota Jambi.
Sebagian produk ini ditujukan untuk pasar wisata yaitu sebagai oleh-oleh khas Jambi. Yang menarik adalah Jambi selama ini tidak dikenal sebagai destinasi wisata, namun mencoba untuk menggali potensi wisata yang ada, seperti keberadaan Candi Muaro Jambi yang merupakan kompleks candi Buddha terbesar di Asia Tenggara dengan luas mencapai 3.981 hektar.
UMKM tersebut diberikan pendampingan agar memperoleh peningkatan pemasaran, yaitu mengintensifkan potensi pasar yang ada dan memperluas cakupan pasar.
Program pendampingan ini pun terus berlanjut dan dilakukan secara daring pada masa pandemi Covid-19.
Untuk menyiasati perubahan perilaku konsumen di masa low touch economy, yaitu era di mana setiap orang di dalam aktivitas ekonomi mulai membatasi interaksi secara langsung, UMKM telah dibantu mengembangkan lini produk baru, seperti misalnya membuat produk dengan kemasan individual pack.