Kemudian dari sisi perpajakan, pada tahun 2020, atas kupon dan diskonto (capital gain) obligasi yang diterima reksa dana dikenakan pajak 5 persen, maka pada tahun 2021 dan seterusnya dikenakan pajak 10 persen. Angka ini masih lebih rendah dari investor perorangan dan institusi (non bank) yang dikenakan pajak 15 persen.
Untuk memaksimalkan return, terkadang Manajer Investasi juga menginvestasikan sebagian dananya pada obligasi korporasi. Secara tarif pajak sama, namun obligasi korporasi memiliki jangka waktu jatuh tempo yang lebih pendek (3 – 5 tahun vs pemerintah bisa sampai 30 tahun) dan tingkat kupon yang lebih tinggi.
Karena kebutuhan dana, masih ada obligasi yang besaran kuponnya di atas 8 persen. Namun disesuaikan dengan rating dan risiko. Semakin tinggi risiko, maka semakin besar pula kupon yang diberikan.
Baca juga: Mau Sukses Investasi di Tahun Kerbau Logam? 5 Hal Ini Perlu Diperhatikan
Jika risiko terbesar dari obligasi pemerintah adalah penurunan harga, maka risiko terbesar dari obligasi korporasi adalah gagal bayar dan kurangnya likuiditas. Untuk itu bobot obligasi korporasi biasanya disesuaikan dengan profil reksa dana pendapatan tetap.
Dengan tarif pajak yang lebih tinggi dari 5 persen menjadi 10 persen, potensi kenaikan harga yang terbatas karena ruang penurunan suku bunga diperkirakan tinggal 1 kali, dan kombinasi dengan obligasi korporasi, return reksa dana pendapatan tetap diperkirakan akan berkisar antara 5–8 persen.
Return ini bisa menjadi negatif, apabila di luar dugaan pemerintah ternyata menaikkan suku bunga atau ada gagal bayar pada obligasi korporasi yang menjadi aset dasar.
Saham merupakan instrumen yang paling fluktuatif dan relatif sulit untuk diprediksikan. Tidak jarang juga antara hasil prediksi dan kenyataan tidak sesuai. Untuk itu, pengelolaan reksa dana berbasis saham juga memerlukan tingkat keahlian yang lebih tinggi.
Faktor yang mempengaruhi kinerja saham juga bervariasi, mulai dari sentimen eksternal hingga kinerja perusahaan yang bersifat fundamental. Faktor eksternal juga bisa berasal dari dalam dan luar negeri, serta bisa berubah dengan cepat.
Dari ekternal, ada sentimen bagus dengan terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat. Dibandingkan pendahulunya yang mengedepankan konflik dan perseteruan dengan mitra dagang, diharapkan Joe Biden tidak terlalu konfrontatif.
Sebab sebagai ekonomi terbesar di dunia, ketika mereka berkonflik, tentu riaknya dirasakan oleh negara lain seperti Indonesia yang menyebakan terjadinya aliran dana asing keluar dari pasar modal.
Dari sisi perpajakan, ada kemungkinan Joe Biden akan menaikkan tarif pajak bagi korporasi dan perorangan kelas menengah atas. Secara pasar modal, ketika tarif pajak naik, maka laba bersih turun dan menyebabkan harga saham secara valuasi terlihat menjadi mahal.
Hal ini diharapkan membuat investor luar negeri mencari negara dengan valuasi saham yang lebih murah di emerging market termasuk Indonesia.
Dari internal, kenaikan kasus harian COVID-19 memang mengkhawatirkan meskipun saat ini sudah dalam proses distribusi vaksin. Hal yang sama juga terjadi di negara lain. Akibatnya banyak negara mulai melakukan protokol kesehatan yang lebih ketat dengan lockdown. Mulai 11 Januari 2021, Indonesia juga menerapkan PSBB yang lebih ketat.
Pembatasan waktu operasional selanjutnya akan berdampak pada kinerja perusahaan. Sebab dengan terbatasnya waktu usaha, maka pendapatan perusahaan juga akan berkurang. Tidak semua bisnis mampu melakukan kegiatan usahanya secara digital.
Namun dibandingkan PSBB ketat pada April – Mei tahun lalu, dimana sebagai contoh hanya supermarket yang diperkenankan untuk buka di mall, PSBB ini masih lebih mendingan karena semua toko diperbolehkan buka, hanya jam operasional saja yang dibatasi sampai jam 7 malam.
Baca juga: Ingin Investasi Bitcoin? Pahami Risiko-risiko Berikut