Turut serta sebagai penanggap di antaranya Prita Amalia dari Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Nur Isnin Istiartono dari Sekretaris Ditjen Perhubungan Udara.
Ada beberapa persoalan besar yang dihadapi maskapai penerbangan saat ini. Satu di antaranya adalah terkait negoisasi kontrak pesawat antara maskapai dengan pada lessor.
Baca juga: Kargo Udara, Masa Depan Bisnis Penerbangan Nasional
Ada beberapa klausul perjanjian yang menimbulkan permasalahan. Memang klausul kontrak tiap maskapai berbeda-beda. Namun secara garis besar adalah terkait beban biaya yang ditanggung maskapai saat ini untuk membayar sewa pesawat.
Selain itu juga adanya beban biaya di saat pesawat tidak beroperasi. Beban tersebut di antaranya biaya perawatan, biaya parkir dan lainnya.
Maskapai berharap lessor mengerti dengan kondisi maskapai saat ini, di mana pemasukan sangat minim akibat turunnya jumlah penumpang. Dengan demikian, diharapkan ada keringanan soal pembayaran sewa dan negosiasi terkait biaya-biaya yang timbul akibat tidak dipakainya pesawat.
Sejauh ini negosiasi memang masih berjalan alot. Di antaranya adalah untuk menentukan, apakah pandemi ini termasuk force majeure sehingga ketentuan-ketentuannya dapat dipakai.
Karena selama ini klausul force majeure tidak memuat pandemi, namun memuat bencana alam atau bencana yang diakibatkan ulah manusia seperti perang.
Saking alotnya negosiasi, bahkan ada terbetik isu untuk melakukan tuntutan pailit pada maskapai nasional. Tentu saja hal ini harus dihindari.
Untuk itu peran pemerintah memang diharapkan untuk membantu maskapai dalam proses negosiasi ini sehingga terhindar dari tuntutan pailit.
Dalam kondisi yang sulit ini, persoalan lain yang mendapat sorotan adalah adanya pajak yang tetap dikenakan pemerintah, terutama bea masuk pada pesawat maupun suku cadangnya.
Pajak yang diambil di awal ini memang sangat memberatkan. Apalagi di saat ini banyak maskapai yang tidak dipakai terbang namun beberapa suku cadang tetap harus dimasukkan sebagai syarat untuk keselamatan penerbangan. Artinya biaya muncul walaupun pemasukan tidak ada.
Baca juga: Pandemi yang Mengubah Arah Industri Penerbangan Global
Diharapkan kebijakan mengenai bea masuk pesawat dan suku cadangnya ini bisa ditinjau ulang. Karena pesawat sebagai alat produksi utama penerbangan, yang bisa menjadi pendorong bagi sektor-sektor lain untuk berkembang, seperti misalnya bandara udara, pariwisata dan lainnya.
Jika pajak dikenakan di awal, dapat menghambat masuknya pesawat atau suku cadangnya, sehingga dapat menghambat pula pertumbuhan sektor-sektor yang lain.
Pajak sebaiknya ditarik saat pesawat tersebut digunakan dan mendapatkan penghasilan, yaitu sebagai pajak penghasilan. Dengan demikian investasi di sektor penerbangan dapat lebih meningkat.
Saya sendiri, atas nama asosiasi sudah mengajukan berbagai permasalan tersebut kepada pemerintah. Baik pada Menteri Perhubungan, Menteri BUMN, Menteri Perekonomian, Menteri Keuangan dan lainnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.