Akhir-akhir ini pemberitaan media massa banyak menyoroti soal kondisi maskapai penerbangan Indonesia yang tengah sakit akibat terdampak pandemi Covid-19.
Pandemi ini menyebabkan pergerakan manusia dibatasi sehingga jumlah penumpang transportasi, termasuk transportasi udara atau penerbangan menurun tajam.
Bahkan pada saat-saat tertentu, seperti pada libur lebaran tahun 2020 dan 2021, jumlah penumpang pesawat hampir-hampir tidak ada karena adanya pembatasan pergerakan masyarakat untuk menekan laju penyebaran Covid-19.
Baca juga: Total Football untuk Industri Penerbangan Indonesia
Akibat menurunnya penumpang, jumlah penerbangan pesawat juga berkurang drastis. Banyak pesawat di parkir dan tidak beroperasi yang membuat aliran kas (cash flow) maskapai penerbangan terganggu.
Berbagai upaya dilakukan internal maskapai agar kondisi keuangannya bisa tertangani dengan baik dan operasional perusahaan mereka tetap berjalan. Salah satunya adalah mengurangi armada pesawat yang selama ini tidak terpakai dan dikembalikan ke lessor.
Tentu saja pengembalian pesawat ke lessor sebelum jatuh tempo ini juga mempunyai konsekuensi tertentu, sesuai dengan perjanjian antara maskapai dan lessor.
Jika mencermati pemberitaan yang beredar di masyarakat, setidaknya ada ratusan pesawat dari maskapai nasional yang berpotensi untuk dikembalikan ke lessor dalam waktu dekat ini.
Hal tersebut karena hampir semua maskapai, terutama maskapai dengan pangsa pasar besar, berniat mengembalikan pesawatnya ke lessor.
Pengembalian pesawat dilakukan untuk mengurangi beban biaya yang ditanggung maskapai. Seperti diketahui, biaya pengadaan dan sewa pesawat itu sekitar 20 persen dari total keseluruhan biaya yang harus ditanggung maskapai.
Baca juga: Riset Moody's: Industri Penerbangan akan Membaik Seiring Vaksinasi
Dengan pengurangan pesawat, diharapkan beban maskapai juga akan berkurang dan maskapai akan bisa bertahan dan beroperasi secara lebih efektif dan efisien berdasarkan pasar yang ada sekarang ini.
Tentu saja hal tersebut memprihatinkan, mengingat pesawat sebenarnya adalah tulang punggung dari sebuah maskapai penerbangan. Dengan berkurangnya pesawat, berarti akan berkurang pula kapasitas bisnis maskapai tersebut.
Berkurangnya kapasitas bisnis maskapai nasional ini dapat berdampak pada pertumbuhan perekonomian nasional, mengingat industri penerbangan merupakan industri yang mempunyai multiplier effect misalnya terhadap industri pariwisata, perdagangan dan sebagainya.
Bisa dikatakan, situasi ini merupakan ancaman bagi masa depan penerbangan dan perekonomian Indonesia.
Sama-sama kita ketahui bahwa semua pihak sudah berupaya dan berkolaborasi, bahu-membahu untuk menanggulangi agar hal tersebut tidak terjadi.
Beban berat maskapai penerbangan seyogyanya dapat ikut dibantu diringankan oleh stakeholder yang terkait seperti pemerintah, operator di penerbangan seperti bandara, Airnav, Pertamina, juga masyarakat sebagai konsumen.