Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sri Mulyani: Indonesia Butuh Dana Rp 6.734 Triliun untuk Atasi Perubahan Iklim

Kompas.com - 19/10/2021, 15:40 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia setidaknya membutuhkan dana hingga 365 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 5.131 triliun (kurs Rp 14.060) untuk menurunkan 29 persen emisi karbon hingga tahun 2030.

Bahkan, dananya akan lebih besar mencapai 479 miliar dollar AS atau Rp 6.734 triliun untuk menurunkan emisi karbon sebesar 41 persen hingga 2030. Hal ini menyusul komitmen Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Paris Agreement pada tahun 2016.

Di dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan, dengan penurunan sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Baca juga: Dana Perubahan Iklim Sangat Mahal, Kemenkeu Butuh Bantuan Global

"Kami menghitung besaran biaya untuk menurunkan emisi karbon (CO2) sesuai (NDC) Paris Agreement, misalnya untuk menurunkan 29 persen, membutuhkan pembiayaan hingga 365 miliar dollar AS untuk merealisasi janji itu," kata Sri Mulyani dalam diskusi Sustainable Future Forum, Selasa (19/10/2021).

Bendahara negara ini mengakui, dana sebesar itu tidak dapat dipenuhi hanya dengan pembiayaan publik. Pihaknya menaruh harapan lebih pada private sectors untuk membiayai komitmen penurunan emisi GRK.

Namun, kata dia, menggaet pendanaan dari sektor privat bukan hal mudah. Dia bersama koalisi para penteri keuangan dari berbagai negara masih mencari cara yang tepat bagaimana menghubungkan sektor-sektor privat domestik dengan sektor privat secara global.

"Private sectors menjadi sangat kritikal. Maka forum koalisi menteri keuangan negara G20 menjadi sangat penting untuk mendiskusikan bagaimana kami mendanai dan mengkatalisasi private sectors secara global," ucap Sri Mulyani

Di sisi lain, wanita yang akrab disapa Ani ini menjelaskan, pemerintah sudah meluncurkan berbagai instrumen untuk pendanaan perubahan iklim.

Salah satu yang dilakukan adalah menerbitkan obligasi berwawasan lingkungan (global bonds) yang dananya dikucurkan untuk proyek-proyek ramah lingkungan.

"Kami juga menciptakan blended finance (skema pendanaan campuran), yakni sebuah skema yang membuat private sectors, filantropi, dan institusi multilateral bisa bersama-sama berpatisipasi menurunkan emisi gas rumah kaca," tutur Ani.

Di sisi lain, pemerintah akan mulai menerapkan pajak karbon tahun 2022 mendatang seiring dengan ditetapkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) awal Oktober 2021 lalu.

Baca juga: Sri Mulyani Pimpin Koalisi Menkeu Dunia untuk Aksi Perubahan Iklim

Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Namun demikian, tarif ini lebih rendah dari yang semula diusulkan, yakni Rp 75 per kilogram CO2e.

Ani menjelaskan, pemerintah sudah berdiskusi secara intens dengan para industri sebelum menetapkan pajak karbon ini. Diskusi bertujuan untuk mencari mekanisme yang tepat dalam pemungutan pajak supaya industri tidak terdampak negatif.

"Kami berdiskusi sangat detil dengan mereka karena kami tidak ingin membunuh mereka. Industri mengapresiasi langkah pemerintah, jadi seluruh bisnis di Indonesia melihat perubahan iklim sebagai kesempatan untuk bertransformasi," pungkas Ani.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Work Smart
Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Whats New
SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com