Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute

Pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), sebuah lembaga pengkajian kemaritiman independen. Acap menulis di media seputar isu pelabuhan, pelayaran, kepelautan, keamanan maritim dan sejenisnya.

Duka Pelayaran di Balik Pelarangan Ekspor Batu Bara

Kompas.com - 16/01/2022, 12:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dampaknya lumayan akan panjang. Misalnya, operator/pemilik kapal harus merogoh kocek sekitar 20.000 hingga 40.000 dollar AS per hari untuk demurrage.

Di muka disebutkan bahwa jumlah kapal yang tidak diizinkan angkat jangkar ada lebih dari seratus unit.

Terbayang dong berapa besar jumlah total penalti atas keterlambatan bongkar-muat tersebut yang harus dibayarkan operator kepada consignee mereka? Ya, jutaan dollar AS agregat-nya.

Kemudian, ada pula kemungkinan – dan ini peluangnya cukup besar – perseteruan hukum antara para pihak: penambang, pembeli dan pengangkut.

Dugaan saya, mereka akan berseteru seputar apakah pelarangan ekspor batu bara oleh pemerintah merupakan force majeure atau tidak.

Para pihak akan berlomba mengklaim bahwa pelarangan itu merupakan force majeure sehingga pihak bisa berkelit dari kewajibannya masing-masing.

Bila penambang, ia akan mengklaim keadaan dimaksud agar bisa menjual batu baranya ke pembeli lain yang harganya lebih tinggi daripada yang sudah ia jual ke pembeli awal.

Jika ia pengangkut/transporter, ia akan mengklaim kebijakan pemerintah melarang kapalnya angkat jangkar merupakan force majeure sehingga bisa terlepas dari membayar demurrage.

Begitu seterusnya. Rantainya akan panjang. Bila perseteruan antara para pihak itu hanya terbatas dan tertutup antara mereka, barangkali tidak akan jadi masalah yang serius.

Tetapi manakala mereka berseteru di pengadilan, ini baru serius. Soalnya bisa jadi citra Indonesia akan ikut terbawa; terbawa negatif.

Sebagai negara pelabuhan atau port state Indonesia dapat dinilai tidak memiliki penghargaan atas kontrak-kontrak pengangkutan yang sudah dibuat dengan kebijakan pelarangan ekspor batu bara.

Tidak bakal ada aksi apa-apa dari mereka yang berseteru tadi atau stakeholder lainnya.

Paling-paling hanya menjadi buah bibir tetapi ini cukup dalam menjaga ‘citra buruk’ kita di mata mereka selama ini: sering melanggar kontrak padahal pacta sunt servanda. Tidak ada kepastian hukum.

Dari kasus pelarangan ekspor batu bara yang ada, saya menangkap kesan bahwa aspek pelayaran tidak terlalu menjadi perhatian dari para pejabat yang terlibat dalam formulasi kebijakan pelarangan.

Padahal, aspek pengangkutan amat sangat terkait dengan pelarangan itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com